Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 57)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Aku bergegas menuju rumah Asep. Sebentar lagi aku akan berdiri kembali di hadapan orang banyak. Dan tentunya ini yang ketiga kalinya dalam seumur hidup bermain musik dilihat khalayak. Pastinya selalu saja aku mengalami demam panggung. Selama di perjalanan jantungku berdegub sangat terasa dan cepat. Aku mencoba menguranginya dengan menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan lambat.

Beruntung Rapsan melupakan ketegangan ini dengan mengajak aku bicara. Fokus menjadi terbelah antara mengemudikan motor dengan bicara. Aku sudah tidak sanggup lagi fokus nervous karena sibuk melakukan dua hal tersebut.

Kami tiba di rumah Asep. Hanya saja tidak ada motor Ihsan. Padahal tadi dia yang ingin sekali aku buru-buru, tapi ternyata dia belum datang. Lagi-lagi aku berteriak memanggil Asep agar dia keluar rumah. Kali ini suaraku tidak begitu keras. Dari luar aku sudah mendengar suara Asep sedang tertawa. Tapi dengan siapa?

Ternyata itu Ihsan. Asep keluar dari rumah dan hanya berdiri di depan pintu. “Masuk,” katanya yang tidak membukakan pintu pagar. Rapsan yang sudah turun dari motor tanpa langsung membuka pintu tanpa aku perintah. Sedangkan aku menunggu pagar terbuka dan memasukan motor. “Motor lu mana San?” Rapsan heran Ihsan sudah tiba tanpa kehadiran kendaraannya.

“Gua dijemput.”

“Waaww… Like a boss ya.”

Mentang-mentan rumahnya tidak begitu jauh dia bisa enak dijemput. Kalau aku sih bakal malas karena dia kan ada kendaraan. Beda Asep, beda pula aku. Dia bukan orang yang perhitungan dan malas seperti aku.

Lalu kami berangkat menuju tempat pertunjukan. Dari kejauhan aku sudah mendengar suara keramaian. Di perjalanan pun kami agak tersendat. Maklum ini acara kampung dan dibuat panggung. Banyak orang yang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Tapi kebanyakan anak muda bapuk, jomblo, tidak ada kerjaan yang datang ke sana.

Kalau dipikir-pikir aku termaksud dalam tiga kriteria tersebut. Hanya saja kami yang menjadi salah satu orang pusat perhatian dalam acara nanti. Tidak apalah. Ini menjadi kesenangan Rapsan dan lainnya. Merupakan sebuah kebanggaan sendiri bagi mereka ketika bermain musik di hadapan orang banyak. Yang lebih sempurna adalah saat penonton ikut merasakan ritme irama musik kami.

“Pokoknya harus ada orang yang luka-luka karena musik kita nanti,” seperti itulah yang Rapsan bilang. Dia orang yang sangat senang ketika ada penonton yang joget kesetanan dan ada korban dari kegilaan tersebut. Sedangkan yang lain minimal ada yang berdiri di depan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kalau aku? Yah ada orang yang menikmati dan menghapal wajah kami saja sudah sukur.

Setibanya di lokasi, Rapsan langsung mencari panitia. Dia menanyakan susunan acara. Yang paling penting kapan kami akan tampil. Aku baru tahu kalau ini adalah acara kesenian. Ada tiga bagian di sini, pertama seni daerah, kedua pertunjukan musik, dan acara tengah malam yang paling dinanti orang tua adalah layar tancep.

Aku sempat berpikir bahwa kami akan salah panggung. Bagaimana nanti kalau musik yang kami bawakan malah dicemooh orang? Semakin malam, semakin banyak orang yang berdatangan. Tidak hanya anak muda, bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan anaknya yang masih sekolah dasar datang ke mari untuk melihat pertunjukan.

Mereka datang tentunya ingin melihat anak mereka tampil dalam acara ini karena kesenian daerah ditelakkan paling awal. Sedangkan musik setelah ini habis. Lalu kami dapat yang paling pertama di bagian itu. Kenapa harus dapat yang paling pertama mulu? Kalau begini kan aku tidak tahu seperti apa orang lain menunjukkan keahlian dan pembawaan musik mereka.

Yang paling aku heran darimana Rapsan bisa mendapat informasi seperti ini. Kalau saja aku tahu acaranya akan dihadiri semua kalangan, pasti akan memberikan saran lagu untuk dibawakan nanti. Bodohnya aku tidak pernah menanyakan itu setiap kali Rapsan mengajak tampil karena biasanya berjalan seperti biasa pada umumnya.

Aku melihat ketiga teman-teman. Raut wajahnya biasa saja. Asep dan Ihsan asik mengobrol sambil menghisap sebatang rokok yang dibeli hasil patungan. Rapsan pun demikian. Hanya saja matanya menerawang jauh ke sekeliling tempat. Aku tahu pasti dia mencari wanita yang bisa dimodusin. Seperti itulah dia meski sudah punya pasangan.

Oh iya aku belum menceritakan kisah cinta pencundang Rapsan lagi yah. Terakhir kali adalah tentang Citra, teman kelas kami waktu kelas satu. Akan tetapi yang jadi pelampiasan napsunya bukanlah Citra, tapi wanita lain. Begini kisahnya.

Bersambung..
Previous
Next Post »
0 Komentar