Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 56)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Rapsan sudah menunggu daritadi. Dia mengirim pesan sampai lima kali dan telepon 20 kali. Mentang-mentang satu operator dan gratis dia bisa seenaknya menggangguku. Kalau aku pakai operator lain, paling cuma kirim pesan saja. Itu pun kalau dapat gratisan. Aku sudah paham banget dengan pola pikirnya. Maklum, sudah tiga tahun aku kenal dia.

Untung saja telepon aku buat tidak bunyi dan getar sehingga tidak terganggu dengan perbuatan Rapsan. Aku selalu melakukan ini ketika sedang tidak ingin diganggu karena belakangan ini aku sering mengalami itu. Apalagi dibantu dengan kartu penyedia telepon yang sedang perang tarif murah. Makin sering saja aku diganggu.

Aku mengembalikan telepon ke mode getar. Baru saja aku akan membalas pesan Rapsan, sudah ada panggilan masuk. Aku milhat layar siapa yang sedang memanggil. Ternyata bukan Rapsan. Ini dari telepon rumah. Aku menggangkat dengan penasaran berkata dengan nada sopan, “Ya, Assalamuallaikum.”

Suara dari seberang menjawab salam lalu berkata, “Jef, di mana lu? Sudah jemput Rapsan?” Ini pasti dari Asep atau Ihsan. Tapi suaranya beda. Terkadang beberapa orang memang demikian ketika berbicara di telepon. “Ini baru mau samperin dia. Gua baru pulang les.”

“Oke langsung ke rumah Asep yah.” Suara langsung terputus. Berarti yang telepon tadi adalah Ihsan. Karena kalau itu suara Asep, dia pasti mengatakan “ke rumah gua.” Sambil berjalan menuju parkiran aku membalas pesan Rapsan. Sedang konsentrasi mengetik pesan, aku mendengar ada yang memanggil. “Mau pulang ya Jef?” Hati-hati ya,” katanya.

Itu suara Ka Zahra. Dia adalah salah satu pengajar di sini. Orang yang baik dan ramah. Hari pertama belajar di sini, aku bertanya padanya mengenai ruang kumpul karena hari itu belum aktif belajar. Dia langsung memanggil namaku sembari menunjukkan jalan. Aku heran. Padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Setelah itu aku mencari tahu siapa namanya. Aku dapat tidak lama dari daftar nama pengajar.

Zuhaeriah Zahra. Itulah namanya yang terpampang di daftar guru yang aku terima di hari perkenalan. Ketika perkenalan berlangsung, dia berkata namanya Zahra. Untung saja ada perkenalan seperti itu. Kalau tidak, aku pasti akan panggil Ka Zahra dengan nama pertama dan itu nama yang sulit. Kalau memanggil, apakah akan dipanggil Ka Zuh, Ka Zuhae, atau Ka Zuhaeriah. Aku bayangkan saja sudah kaku ini lidah.

“Iya Ka, mau pulang. Tapi mau main dulu sih,” kataku sembari tersenyum yang mengetahui kalau itu Ka Zahra. Dia memang orang yang selalu menyapa semua orang yang dilihatnya. Seperti itulah keramahan dan kebaikan yang diberikan Ka Zahra. Sayangnya di mengajar IPA. Jadi aku tidak pernah merasakan kebaikan lebih dalam darinya.

“Mau pacaran ya? Pulangnya jangan malam-malam. Tidak enak sama tetangga si perempuan. Belum lagi pikiran orang tuanya yang mengira kamu bukan anak baik-baik kalau sampai tengah malam di rumah orang.”

Buseh. Jauh sekali pikiran Ka Zahra. Aku tahu itu hanya pernyataan bercanda. Karena setelah itu pengajar yang lain ikut-ikutan meledek. Suasana menjadi ramai setelah itu. Yang buat malu adalah masih banyak anak kecil di bawah umur yang sedang duduk santai menunggu orang tuanya. Aku jawab seperti apa? Bisa-bisa aku dikira pria tidak baik.

Kalau bilang tidak punya pacar pasti diledek lagi. Kalau mengiyakan, pasti tambah ramai suasana. Jawaban yang rumit. “Yah namanya juga anak muda, Ka. Aku pamit yah.” Dengan begitu tidak ada ledekan yang panjang. Ka Zahra menyemangati agar sukses malam mingguannya. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.

Aku buru-buru keluar dan membuka pintu. Suasana tetap saja rama meski aku sudah di tempat parkiran. Sayup-sayup terdengar orang tertawa. Pasti ada orang lain yang sedang diajak bercanda. Suasana pascabelajar memang selalu ramai begitu. Tempat yang menyenangkan pasti akan disukuai oleh semua anak.

Aku menuju rumah Rapsan. Tidak membutuhkan waktu yang lama ke sana karena lokasi rumahnya yang cukup dekat dengan tempat les. Sampai di depan rumahnya aku berteriak agar orang rumah tahu kalau salah satu penghuninya sedang dicari. “Rapsaaann!!”

Hanya sekali memanggil terlihat bayangan gelap dari lantai dua. Dari bentuk tubuh itu adalah Rapsan. “Tunggu,” hanya itu kata yang keluar. Biasanya aku harus memanggil dua hingga tiga kali baru dia akan keluar. Berarti Rapsan memang sudah tidak sabar aku jemput dan tampil. Dan biasanya kalau Rapsan tidak menyuruh untuk masuk tandanya sudah diburu-buru.

Kurang dari lima menit Rapsan sudah berada di bawah dan membuka pagar. Aku melihatnya dari bawah sampai atas. Penampilannya sangat rock n roll. Seperti itulah yang selalu dia katakan dan lakukan setiap kali akan tampil dalam acara musik. Sedangkan aku hanya memakai pakaian yang seadanya. Karena memang aku tidak terlalu berpikir untuk seperti itu. Yang penting enak dipakai dan nyaman.

“Ganteng bener, Pak. Mau ke mall mana nih?” kataku sambil tertawa. “Kalau ke mall sih pakai celana pendek biar kaya orang berduit. Kali saja kan nanti ada cewe yang kepincut dengan kegantengan gua ini. Ngga usah banyak cing-cong. Lets go.” Rapsan sudah sangat tidak sabar dan aku meluncur ke rumah Asep.

Bersambung….

Previous
Next Post »
0 Komentar