Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 7)



Akhirnya pulang sekolah juga. Aku pulang tidak bareng Dimas. Sepertinya dia ada urusan yang penting. Sebenarnya sebelum pulang sekolah tadi dia mengajak untuk bermain musik di studio, tapi aku menolaknya karena hari ini perdana aku masuk bimbingan belajar. Aku paham pasti hanya perkenalan saja dan itulah alasanku agar bisa mengenal teman baru di sana.

Saat menuju parkir motor, terdengar suar Dimas. “Jeff!!!” Aku melihat kiri-kanan, tidak ada orang. Aku segera menoleh ke belakang saat Dimas memanggil yang kedua kalinya. Dia bersama wanita. Sesosok wanita yang sepertinya aku kenal. Aku berpikir sejenak, ternyata itu Tia wanita yang Dimas bicarakan saat selesai mengerjakan hukuman.

Tia tersenyum padaku. Aku membalasnya. Saat tersenyum dia lumayan manis. Selintas aku segera memikirkan Vini. Aku membayangkannya saat terakhir bertemu dengannya. Sungguh menyesal hingga sekarang aku masih belum berani mengirim pesan padanya. Mungkin sesampainya di rumah aku akan melakukannya.

“Tapi kan Vini masuk siang.” Suara hatiku segera merespon. Aku segera membatalkan rencana itu takut mengganggunya yang sedang belajar. Vini masuk jam 13.00 dan sekarang masih jam 12.00, berarti masih ada satu jam untuk komunikasi dengannya melalui telepon. “Kesempatan ini ngga boleh dilewatin.”

“Hai Ka Jeff,” lamunanku segera buyar saat Tia sudah ada di depanku  dengan Dimas.

“Hai juga Tia,” aku segera menatapnya. Mata Tia seperti menggunakan lensa. Setelah aku pandangi seksama, matanya memang alami berwarna cokelat.

“Ko kakak lihat aku seperti itu,” Tia seperti malu dan menyembunyikan tatapannya padaku.

“Ah nggak. Mata lu lucu. Gue kira pakai lensa biar kaya yang lain.

“Mata aku emang cokelat. Keturunan dari mama.”

“Oh mama lu matanya cokelat? Wah udah kaya bule aja. Untung bukan biru matanya.”

“Ooii... gue dikacangin nih,” Dimas segera menyambar karena ingin diajak berbincang juga.

“Eh iya sampai lupa ada Ka Dimas di sebelah aku. Maaf ka. Hehhee”

“Tia lagi butuh bantuan lu nih Jeff. Lu kan tahu cara instal ulang komputer, dan sekarang komputer Tia lagi rusak. Bisa ngga sekarang lu benerin?” Dimas langsung ke inti masalah tanpa basa-basi.

Padahal aku sedang ingin pulang cepat mengingat les dimulai 15.30. Aku juga punya rencana untuk mengirim pesan ke Vini. Saat aku lihat Tia, sepertinya dia berharap banyak padaku.

“Iya ka tolong yah, soalnya aku lagi banyak banget tugas dan harus diselesain hari ini.”

“Yaudah. Punya kaset untuk instal ulangnya?” 

Tia hanya menggeleng tanda tidak mengerti. “Yaudah lu pulang ke rumah dulu aja. Lu kan punya kasetnya.” Dimas kembali menyambar agar permasalahan cepat selesai.

Kalau begitu gue harus bawa Tia pulang ke rumah? Apa kata orang rumah kalau gue bawa cewe? Gue kan belum pernah bawa perempuan ke rumah. “Rumah lu di mana Tia?” Aku mencoba untuk ketemuan di rumahnya saja agar dia tidak ikut ke rumahku.

“Di Kunciran Ka. Kenapa?”

“Yaudah ntar gue ke depan komplek rumah lu aja.”

“Kalau gitu lu anterin dia pulang aja sekalian biar nggak nyasar,” Selalu saja Dimas memberikan pernyataan yang tidak aku pikirkan. Sepertinya dia punya maksud di balik semua ini.

“Emang ngga apa-apa nih Ka?” Tia memandangku. Kenapa setiap orang apalagi perempuan yang menginginkan sesuatu padaku tidak pernah bisa aku tolak? 

“Yaudah ayo.” Hati kecilku teriak, “Aaaahhh!!!! Gue kan masih punya urusan lain.”

Aku melihat jam di telepon. Masih ada setengah jam lagi sebelum menanyakan kabar ke Vini. Apa aku lakukan sekarang aja yah? Tapi mau kirim pesan yang seperti apa? Bodoh sekali aku ini tidak bisa merangkai beberapa kalimat ke seorang wanita.

Aku melihat ke sebelah, Tia mengikutiku dari samping. Dia terlihat seperti senang sekali. Dimas benar-benar sedang merencanakan sesuatu padaku dan Tia. Sepertinya Dimas mau menjodohkanku. Dia lupa kalau Aku sedang kasmaran dengan wanita lain.

Saat menaiki motor, Tia segera menggamit bagian seragam di bagian pinggangku. Itu sama seperti yang dilakukan Vini. Kali ini rasanya beda. Aku lebih merasakan kelembutan yang diberikan Vini dibandingkan Tia. Aku juga tidak membawa motor seperti biasa dengan kecepatan lebih dari 60KM/Jam agar cepat sampai rumah. Saat bersama Vini kemarin, aku mengendarai kurang dari 40KM/Jam.

Ternyata Tia takut dengan kecepatan. Ini malah membuat dia semakin kencang memegangku.  Terpaksa aku harus mengurangi kecepatan agar tidak disangka mencari kesempatan dalam kesempitan. Di jalan Tia mencoba memecah keheningan dengan mengajak ngobrol. Aku hanya menjawab seperlunya.

Dengan bawaan yang lambat, butuh setengah jam untuk tiba di rumah Tia. Itu berarti kesempatanku berbincang dengan Vini pupus sudah. Ketika pulang melewati sekolah Vini, aku melihat dia sedang memasuki gerbang. Aku berharap dia tidak melihatku pulang bersama Tia. Rencana yang sudah kubuat kembali gagal. 

Bersambung....
Previous
Next Post »
0 Komentar