Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 6)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Pak Simbolon memergoki kami yang masih saja di kantin meski jam istirahat sudah kelar. Aku dan Dimas dibawa ke ruang guru. "Kamu padahal anak yang pintar jefri, tapi kenapa kamu suka keluar kelas?"

"Biar seimbang Pak. Saya kan masih muda, jadi harus ngerasain masa-masa indah di SMA. Kalau kata sinetron, SMA itu adalah kenangan yang nggak bakal terlupakan," aku menjawab sambil tersenyum.

"Ah... kamu kebanyakan nonton sinetron dan ngebantah. Kamu juga Dimas. Kalau nakal tapi pintar sih tidak apa-apa. Kamu juga malas mengerjakan PR," pak Simbolon yang hari ini mendapat giliran menjadi guru piket juga tak mau lupa menceramahi Dimas.

"Berarti saya tidak apa-apa dong Pak, kalau nakal? Yang penting kan nilai saya bagus dan rajin," aku timpali masih dengan senyum.

"Kamu benar-benar suka sekali bantah perkataan guru yah." pipiku ditarik. Tapi aku tahu cubitan ini bukan karena kesal. Ini sebagai tanda sayang dan membalas candaan yang aku mulai. Aku pura-pura kesakitan agar guru piket melepas hukuman ringan padaku.

"Ya sudah sekarang kalian cepat masuk kelas. Pelajaran sudah dimulai."

"Udah tidak ada hukuman Pak? Sepertinya pelajaran selanjutnya tidak ada guru. Kemarin guru yang mengajar bahasa Indonesia bilang mau ada pertemuan di Tangerang," Dimas akhirnya buka mulut setelah sedari tadi diam. Aku menyikutnya pelan. Kenapa ia sampai meminta hukuman.

"Jadi mau dihukum? Kalau begitu kalian absen ke semua kelas."

"Haah... yang benar aja Pak. Kan kelas ada banyak," Aku protes, tapi Dimas malah tersenyum.

"Iya Pak, siap. Itu saja kan?" Dimas langsung mengambil buku absen seakan ia menikmati itu. Dimas bergerak ke kelas yang terdekat. Aku segera mengejarnya takut guru piket berubah pikiran dan menambah hukuman.

Pertama adalah kelas Mega. "Sini biar gue yang masuk duluan." Tumben sekali Dimas begitu semangat. Baru Dimas membuka pintu, ruangan langsung gaduh. Kelas ini memang terkenal nakalnya. Meski demikian aku suka kelas ini karena kompak. Orangnya juga seru. Mega segera menghampiri. Ia adalah sekertaris kelas tersebut.

"Ciieeee.... cciiiieeee," suara itu silih berganti baik wanita maupun pria.

"Salah kelas ni," aku berbisik ke Dimas. "Pantes lu seneng banget disuruh ngabsen,"

"Hehehee. Namanya juga ada motivator, jadi harus semangat. Apalagi ada yang ini," Dimas melirik ke sebelah.

"Kalian bisik-bisik apaan? Ngomongin gue yah?"

"Pede banget sih Ga," sambarku.

Mega malah tersenyum padaku. "Udah gue tulis nih siapa aja yang absen hari ini."

Aku balas senyumnya. "Terima kasih ya," Dimas tidak mau kalah. Ia juga ingin diajak bicara. "Aku lanjut ke kelas selanjutnya ya."

"Iya."

Satu jam keliling kelas cukup melelahkan juga. Berbeda dengan yang pertama, aku dan Dimas bergantian masuk kelas untuk absen. Setelah kelas Mega, ia malu untuk masuk setiap kelas. Akhirnya kami putuskan untuk bergantian. Setiap Dimas yang masuk kelas, selalu saja memakan waktu yang cukup lama. Semua orang yang menjadi sekertaris, ia ajak bicara.

"Nggak lagi-lagi dah kalau disuruh absen," gerutuku pada Dimas. "Lu  sih pake minta hukuman segala. Seneng bener lagi diminta absen kelas. Itu kan tugas guru piket."

"Namanya juga usaha. Siapa tau aja abis itu bisa lebih dekat sama Mega."

"Cemen lu. Tadi aja cuma sebentar ngobrol sama dia. Itu juga mau cabut ke kelas lain."

"Santai aja. Ini lagi proses. Oh iya tadi lu dicariin Tia," Dimas mengalihkan pembicaraan.

"Ahh siapa tuh? Gue nggak kenal ah."

"Dia kelas dua jurusan IPS. Perasaan waktu itu pernah gue kenalin dah."

"Oohhh..." aku kembali ke tempat duduk dan mengambil buku.

Bersambung...

Previous
Next Post »
0 Komentar