Apa Kau Sudah Melupakan Aku?

Cerita ini masih membahas soal teman SD. Hanya saja kali ini adalah teman terbaikku. Haruskah aku menyebut namanya di tulisan kali ini? Butuh waktu berpikir untuk meyakinkan diriku apakah harus menyebut namanya di sini atau tidak. Sampai aku menulis pada bagian ini pun aku masih bingung. Hal yang kutakutkan adalah aku menceritakan kejelekannya sehingga menjadi aib. Setelah mempertimbangkan apa yang akan ditulis, aku yakinkan untuk menulis namanya.

Dia adalah Junaedi Hidayat. Teman yang bagiku sangat pintar. Pintar karena dulu aku selalu mencontek padanya setiap ulangan. Dia juga memiliki pengetahuan umum yang luas. Pertama kali aku mengenalnya dengan akrab adalah saat kelas empat di pertengahan semester. Waktu itu aku bosan duduk dengan teman saat itu. Kucari kursi yang kosong. Di saat itu pula aku melihatnya duduk sendirian.

Aku lalu ijin apakah bisa duduk semeja dengannya. Dia tidak keberatan. Cerita bersama dia dimulai dari situ. Cerita mulai membicarakan kartun, jagoan di film, mainan, dan lainnya mengenai yang lagi ngetren di masanya. Ketika kartun Detective Conan hadir pertama kali di layar kaca, kami tidak henti-henti membahasnya. Bahkan kami sampai berlagak seorang detektif ketika ada sebuah permasalahan.

Selain Detective Conan, ada lagi kartun Digimon. Anime ini tidak kalah tenarnya saat itu. Kami memiliki jagoan sendiri di serial itu. Setiap tokoh yang ada di sana bahkan kami kenal semuanya dari yang sering muncul sampai yang sekedar mitos karena tidak pernah tayang di layar kaca.

Hanya ada satu yang tidak pernah kami bahas, yaitu wanita. Aku tidak pernah mendengar dia bercerita mengenai wanita yang dia suka. Begitu pun aku, tidak pernah cerita siapa yang aku suka. Mungkin karena senang dengan dunia bermain, cinta monyet tidak pernah ada pikiran walau terjadi pada beberapa teman yang lain.

Meski tidak pernah cerita, jangan pertanyakan kecabulan kami. Sebetulnya gara-gara dia aku belajar berpikir porno. Kembali pada anime Digimon, di situ ada jagoan yang penampilannya sangat seksi. Tokoh ini kami bayangkan ada di dunia nyata dan dalam bayangan, kami lakukan orang fiktif ini yang tidak-tidak.

Pikiran itu berimbas pada dunia nyata. Setiap kali pelajaran renang, Jun sebutan akrabnya dan aku menyelam ke dalam air lalu memegang pantat wanita. Wanita yang diincar pun tidak sembarang. Kami mencari oran yang cakep. Orang yang dijadikan target biasanya tidak mempermasalahkan itu karena kolam renang ramai dengan anak lain sehingga merasa sentuhan itu tidak disengaja. Setelah memegang itu, kami tertawa-tawa sembari mencari target lain.

Karena merasa cocok kami sepakat untuk duduk semeja dengannya. Setiap pelajaran sekolah ada saja kemaraian yang kami buat tanpa mengajak siapa-siapa. Suka membuat gaduh sendiri membuat kami dipisah oleh guru saat kelas lima. Guru merasa kebersamaan kami menganggu yang lain. 

Aku dipindah duduk paling depan. Aku jadi punya teman baru. Meski begitu aku tetap bermain dengan Jun setiap kali jam istirahat. Selama setahun kami tidak semeja bersama. Tapi tetap saja kami beberapa kali dihukum guru karena membuat onar dengan teman yang lain. Yang paling parah adalah saat jam olahraga. Para anak laki-laki memanjat lemari sembari lompat ke bawah. Semuanya menunjukkan gaya konyol yang  mereka punya. Aku pun tak mau kalah.

Kelas enam kami duduk bersama lagi. Kali ini belajar dari pengalaman, kami mengurangi candaan di jam belajar. Candaan berkurang karena di tahun itu adalah masa di mana aku, Jun, dan teman yang lain mudah ngambek. Tindakan nakal yang tidak menyenangkan hati membuat salah satu diam dan tidak mau bermain.

Akhir pertemananku dengan Jun bisa dibilang kurang baik disebabkan ledek-ledekan nama bapak. Candaan itu sudah bukan lagi pada nama bapak, tapi ibu juga. Nama ibuku yang tidak diketahui oleh orang lain termaksud Jun, membuat aku bebas meledek siapa saja. Entah kenapa karena itu pula Jun marah besar hingga tak mau bicara padaku.

Berbulan-bulan aku tidak bicara padanya meski satu bangku. Ketegangan itu reda saat kami perpisahan kelas. Kami jalan-jalan ke daerah Jawa Barat. Aku lupa lokasinya. Di bus, aku kembali menanyakan apakah bisa duduk di sebelahnya sama seperti dua tahun lalu. Dia kembali tak keberatan. Kami berbincang normal lagi.

Setelah lulus sekolah kami tidak satu sekolah. Jun memilih sekolah swasta dekat pasar Ciledug sedangkan aku sekolah swasta yang lebih jauh. Aku tidak tahu sampai kapan dia akan sekolah di situ. Sejak awal kelas enam Jun selalu mengatakan akan pindah ke Jogjakarta. Komunikasi kami pun putus setelah pisah sekolah. Aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya dan seperti apa rupanya.

Lima tahun kemudian atau di pertengahan 2008 aku bertemu Jun. Ternyata dia belum pindah. Akan tetapi di pertemuan itu kami tidak saling kenal padahal kami berbincang sebentar. Ketika itu di sekolahnya mengadakan perlombaan antarsekolah. Jun adalah panitia pada acara tersebut. Aku datang untuk mendukung sekolah memarkir motor di tempat yang telah disediakan.

Setelah motor diparkir, ada seorang siswa berkulit hitam menyambangiku. “Ini bos karcisnya,” katanya. Aku menerima sambil melihat wajahnya sekilas. Saat itu aku tidak ngeh kalau itu Junaedi teman baikku ketika SD. Aku baru sadar saat melihat dia dari kejauhan. Aku benar-benar pasti setelah melihat model rambutnya. Tidak ada yang berubah dari gaya rambut dia.

Hanya saja dia sekarang lebih hitam, kurus, dan tingginya sama denganku. Padahal dulu dia sangat tinggi. Aku bahkan sering minder kalau ditantang siapa yang lebih tinggi. Meski aku menyadari kalau itu Jun, aku tidak menghampiri dia. Aku hanya bisa melihat dia dari kejauhan. Aku tidak tahu kenapa aku tidak menyapa dia karena berat rasanya.

Jun benar-benar pindah ketika kuliah. Dia menempuh pendidikannya di Jogja. Aku baru tahu ketika menjadikan dia sebagai teman di facebook. Saat itu aku sedang mengumpulkan teman SD di media sosial karena sudah tidak tahu kabar mereka. Wajah mereka juga aku pasti lupa jika melihat foto yang dipampang media sosial.

Aku lalu mengirim pesan di facebook-nya. Tapi tidak ada jawaban. Tiga bulan kemudian aku mengirim pesan lagi di media yang sama dan masih tidak dijawab. Aku tidak menyerah. Dua bulan kemudian aku kirim pesan lagi. Lagi-lagi Jun tidak membalas.

Pesan yang aku kirim di facebook

Sebulan yang lalu aku kirim pesan dia lagi. Kali ini aku minta kontak dia dan memasukkannya ke grup whatsapp agar silaturahmi teman SD tetap terjalin. Tidak butuh lama bagi Jun membalas pesanku yang ini. Lalu aku masukkan dia di grup. Tak lama dia menulis pesan dan meminta maaf padaku karena tidak membalas pesan di facebook karena jarang membuka itu.

Klarifikasi Jun kenapa tidak membalas pesannya di facebook

Aku memaklumi. Karena memang tidak ada pikiran buruk untuknya bahwa dia masih marah padaku. Akan tetapi beberapa hari kemudian dia keluar dari grup whatsapp. Dugaanku karena terlalu berisik dan tujuan silaturahminya tidak ada. Tapi aku masih tidak berpikiran buruh padanya. Yang jelas Jun telah berubah. 

Aku tahu dari foto media sosialnya yang sungguh islami. Yang jadi pertanyaan besar adalah apakah karena itu kau melupakan aku? Melupakan kenangan kita yang jauh dari ajaran agama? Masih ingatkah kau kalau dulu kita ingin memberikan nama anak kita dengan awalan “j” karena nama awalan kita sama? Aku tidak tahu.


Previous
Next Post »
0 Komentar