Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 39)



“Gua duluan ya. San, Lu balik sama gua atau ngga?”

“Sama lu lah. Kalau selain lu, gua pulang sama siapa?” Rapsan menatap Asep dan Ihsan. Tak ada dari keduanya yang menerima kode Rapsan. Jelas saja, rumah Ihsan tidak begitu jauh dari studio band. Hanya aku saja yang searah pulang. 

Aku mengantar Rapsan hanya sampai angkutan umum biasa dia pulang. Waktu menunjukkan setengah empat sore. Untung saja aku sudah makan di rumah Asep jadi tidak perlu cari makan agar bisa fokus les. Kali ini jadwal belajar matematika. Kakak pengajarnya sedikit culun. Tapi dari penampilannya terlihat dia orang yang sangat pintar.

Betul saja dugaanku. Dengan mantab Ka Irfan menjelaskan materi. Dia juga memberikan contoh soal ujian masuk universitas. Soal yang bagi kami sangat susah. Meski dia sangat pintar, proses transfer dari otaknya ke kami menurutku kurang bagus. Untung saja aku paham materi ini karena sudah dipelajari di sekolah. Tapi bagaimana dengan yang lain? Apa mereka bisa menerima penjelasan Ka Irfan?

Lia yang sedari tadi fokus menatap Ka Irfan sepertinya mengerti dengan penjelasannya. Wajar saja. Dia menjadi langganan sekolahnya untuk lomba matematika antarsekolah di Tangerang. Siswa di kelas ini semuanya tidak ada di satu sekolah yang sama. Karena kebedaan sekolah ini membuat kami belum akrab betul. Terlebih hanya aku laki-lakinya dari enam siswa. Sepertinya memang nasibku yang selalu tidak punya teman di tempat baru.

Bagiku tidak masalah. Ambil saja nilai baiknya. Ini berarti aku bisa memiliki teman baru yang belum pernah ditemui sebelumnya meski butuh waktu lama. Pasti lama karena aku bukan orang yang mudah sok asik dengan teman baru kenal. Terlebih lagi ini semuanya perempuan. Kalau aku ngondek sih bisa saja mudah akrab. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan.

Pelajaran pun selesai. Pusing juga ini kepala. Seharian dipenuhi dengan belajar. Mau bagaimana lagi. Ini tahun terakhir aku SMA. Aku harus memberikan yang maksimal. Kesalahan saat SMP dulu tidak boleh terulang lagi.

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kalau adanya di awal itu pendaftaran namanya. Sejak pertama kali masuk SMP aku ingin sekali bisa masuk SMA favorit yang ada di Tangerang kota. Sekolah yang letaknya persis di sebelah Stadion Benteng, markas klub sepakbola Persita Tangerang. Sekolah ini selalu menjadi impian teman-teman yang ada di rumah.

Jarang orang di perumahan yang bisa masuk sekolah ini. Namanya juga favorit, banyak siswa yang ingin bisa belajar sekolah itu. Di perumahanku, orang yang bisa sekolah di sana bisa dihitung dengan jari. “Gua harus bisa sekolah di sana,” kataku mantab dalam hati.

Nyatanya, janji hanya sekadar janji. Omongan yang tidak pernah dilakukan dengan kata-kata sama seperti perut lapar dan ingin makan tapi badan tidak mau bergerak untuk mengambil nasi. Kalau dipikir-pikir aku terlalu dipusingkan dengan cinta monyet.

Saat pertama kali masuk SMP, salah seorang guru mengatakan kita boleh suka sama seseorang tapi jangan berlebihan. “Cinta monyet saja,” katanya. Itu diucapkan karena berdasarkan pengalamannya banyak pelajar di usia segitu sedang gencar-gencarnya membahas orang yang disuka. 

Mendengar istilah itu kami semua diam. Diam karena tidak tahu. Guru itu menjelaskan bahwa cinta monyet itu hanya sekadar suka, tidak lebih. Suka dan tidak terbawa perasaan lebih lanjut sampai ingin memiliki. Apalagi kelakuannya seperti pasangan suami-istri.

Cukup masuk akal penjelasannya. Tapi tetap saja tidak mudah dilakukan. Namanya juga dalam kondisi yang masih labil, aku tidak bisa menahan perasaan suka pada seorang wanita. Ditambah lagi teman-teman sekitar selalu membicarakan wanita yang disuka dan cerita soal proses pendekatannya. Gelombang perbincangan itu yang membuatku tidak bisa menahannya.

Tidak hanya pria, wanita juga sama. Malah yang lebih parah membicarakan perasaan suka dengan teman lawan jenisnya adalah wanita. Tidak di kelas, di kantin, di angkutan umum, di mana-mana selalu saja membicarakan ini. Sebenarnya aku tidak ingin mendengar atau membahasnya. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak punya bahan untuk dijadikan pembicaraan.

Tahun pertama SMP aku masih bisa menghindari pembahasan soal percintaan. Kebetulan juga kami masih kecil dan masih belum banyak orang yang merasakan. Anak yang sudah mengalami masa pubertas pada waktu itu bisa kukatakan terlalu cepat. Meski pada saatnya peristiwa itu akan datang.

Hingga akhirnya aku naik kelas ke jenjang berikutnya. Perbincangan soal lawan jenis mulai gencar. Kalau bukan membahas orang yang disuka, paling soal bentuk tubuh wanita. Tidak pernah jauh dari itu. Teman semejaku juga tidak luput membicarakan masalah ini meski dia adalah anak yang pintar. Di kelas, dia adalah juara. 

Kekuatan perasaan suka sungguh kuat menyerang siapapun. Aku salut dengan orang yang belum pernah atau tidak pernah ada perasaan suka pada orang lain. Meski bisa kukatakan orang seperti itu tidak ada.

Di saat tidak ada guru, para siswa seperti biasa membuat gaduh. Mereka ramai dengan keasikannya sendiri. Aku juga tidak mau kalah. Aku dan teman semeja dan yang duduk di depan saling mengobrol. Kami tertawa-tawa membahas cerita lucu. Teman semeja ini lalu bilang, “Jef, kayanya Charnia suka deh sama lu.”

Bersambung....

Previous
Next Post »
0 Komentar