Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 8)

Bacaan sebelumnya klik di sini


“Assalamuallaikum,” aku mengucap salam pada orang rumah. Mama segera menjawab salam dan menghampiriku yang duduk di teras rumah sambil melepas sepatu. Seperti biasa mama selalu menanyakan makan siang setiap aku sampai di rumah. Aku pun selalu menjawab belum, kecuali kalau pulang terlambat. Aku bukan orang yang mudah menahan lapar. Kalau lapar sedikit, selalu saja aku jajan sesuatu.

Meski selalu makan, badanku tidak pernah gemuk. Rekor terberatku adalah 53Kg. Tinggiku sekitar 170cm. Bisa terbayangkan betapa kurusnya aku. Aku ingin sekali memiliki badan yang ideal minimal 60Kg, tapi hal tersebut sulit sekali. Ayah sudah berkali-kali membelikan obat yang membuat tubuh seseorang menjadi gemuk dari buatan Indonesia hingga Cina. Semua obat yang kuminum tidak pernah manjur.

Aku percaya suatu hari nanti aku pasti akan gemuk. Pamanku pernah cerita bahwa dirinya juga dulu kurus. Bahkan saat pertama kali bekerja kapal laut dia hampir menjadi sasaran pekerja lain di sana. Akan tetapi hal tersebut tidak bertahan lama karena keahliannya dalam berkelahi dan kekuatan yang didapat dari bekerja berat di sawah sehari-hari.

Paman mengatakan kalau dulu badannya seperti aku. Aku sempat melihat fotonya ketika SMA. Sungguh mirip denganku. Badannya agak tinggi dan kurang berisi. Itu terlihat dari ukuran lengan dan lehernya. Sangat berbeda sekali dengan paman yang di usianya yang hampir menginjak 30 tahun. Aku sempat mengunggah fotoku dengannya dan seseorang teman mengomentari foto itu. “Itu siapa? Ngeri banget udah kaya preman,” komennya di media sosial.

“Mama masak sayur asem sama ikan teri.” Sepertinya mama tahu kalau aku sudah lapar. Kalau mama tidak masak, biasanya langsung membuatkan mie instan atau membeli masakan padang di luar. Mamaku sungguh perhatian. Jika dewasa nanti aku ingin sekali punya istri yang seperti mama.

Mama orang yang sangat perhatian terhadap anak-anaknya. Selalu mendahulukan segala sesuatu untuk anaknya. Membuat masakan yang anaknya suka, sedangkan mama makan seadanya. Bahkan mama sering makan masakan yang kemarin belum habis. Saat aku makan dengan daging, dia makan dengan sambal dan terkadang minta sedikit daging yang kupunya untuk penghias makanannya.

Mama juga tidak kenal lelah. Bangun lebih pagi dibandingkan yang lain dan membuat sarapan untuk anaknya dan tidur paling akhir sebelum semua keluarga sudah tidur. Apabila ayah pulang larut malam, mama selalu menunggu dan tidak akan tidur hingga suara motor ayah terdengar.

Setelah makan aku merebahkan badan sebentar, mengisi tenaga sebelum beraktivitas kembali. Tiba-tiba terbayang kejadian saat pulang tadi. Vini melihatku pulang bersama Tia tidak ya? Pertanyaan itu selalu saja melayang di pikiran. Bagaimana jika temannya melihatku? Pasti dia menganggap yang tidak-tidak.

Aku memutar-mutar badan karena bingung memikirkan pertanyaan tadi. Kalau aku mengirim pesan sekarang, pasti mengganggu dia yang lagi belajar. Kalau aku kirim pesan, lalu teleponnya berbunyi dan guru mendengar, teleponnya pasti disita. Aku tahu peraturan sekolah itu karena peraturan yang ada di sana untuk semua tingkat dari SD hingga SMA.

Aku segera bangun. Nanti malam harus bisa! Janjiku dalam hati. Aku bersiap-siap ke rumah Tia untuk membetulkan komputernya. Aku menarik napas panjang berusaha ikhlas dengan apa yang sudah aku janjikan pada Tia. “Semua yang dilakukan dengan terpaksa akan mendapat hasil yang kurang memuaskan.” Itu kata-kata yang selalu aku tanam di dalam hati.

Mengingat kata penyemangat itu, rasa penyesalan tadi langsung lenyap. Aku tersenyum sendiri dan bergegas menghampiri mama. Mama sedang menonton televisi di kamar. “Abang berangkat ya.”

“Mau ke mana? Kan lesnya jam empat sore.” Aku melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah dua siang.

“Iya soalnya mau ke rumah adik kelas. Komputernya rusak.”

“Cewe yah? Bukan pacar abang kan?”

“Bukan. Itu temannya Dimas. Abang juga baru kenal belum lama-lama ini.”

“Fokus belajar saja dulu. Orang pintar itu selalu dicari wanita, apalagi kalau uangnya banyak.”

“Iya,” jawabku singkat dan segera mengeluarkan motor. Kalau aku tidak beranjak pergi, ceramah mama bakal lebih panjang. “Abang berangkat dulu. Assalamuallaikum”

“Wallaikumsalam.”

Bersambung...

Previous
Next Post »
0 Komentar