Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 52)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Benar saja dugaanku. Suasana di sini jauh berbeda dengan sekolah dulu. tempatnya lebih luas. Kalau naik ojek, bisa kena Rp 3.000 untuk kelilingi sekolah. Tapi itu bohong. Cuma untuk perumpamaan luasnya saja. Kelas di sini juga banyak. Yang masuk tahun ini, bisa membuat sembilan kelas dengan tiap kelas rata-rata 40 murid. Banyak sekali.

Yang paling aku takutkan adalah suasananya. Karena ini sekolah gabungan dari TK sampai SMA, banyak sekali seniornya. Jangan coba-coba untuk bertingkah di sini kalau tidak ingin badan luka-luka. Belum lagi teman satu angkatan yang main geng. Ternyata cukup banyak anak-anak nakal. Nakal karena baru kenal dunia luar. Yah, namanya juga bocah labil. Harap maklum.

Ini adalah tempat dimana aku melangkah ke tingkat selanjutnya. Bertemu dengan orang baru, pelajaran yang makin sulit, dan pastinya cinta monyet yang aku rasakan sekarang. Dan tidak terasa aku sudah berada pada akhir pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sungguh tidak terasa. Banyak momen yang aku lewati. Masa-masa sulit belajar karena tidak bisa menahan arus deras kasmaran sudah aku kuliti. Meski tetap masih ada sedikit sisa yang membekas.

Hari yang menentukan bagi kami pun tiba. Ujian Nasional di depan mata coy! Peristiwa yang pasti akan terjadi dan harus dilewati setiap anak sekolah. Inti dari tes ini adalah jangan takabur. Karena banyak orang yang tidak lulus karena sombong menghadapi UN. Lihat saja di berita. Orang yang juara olimpiade matematika dunia saja tidak lulus SMP.

Aku hanya bisa berdoa dan tentunya juga belajar dengan giat karena masih banyak yang harus aku kejar, yaitu SMA Negeri favorit di Tangerang. Di malam hari menjelang ujian aku tidak bisa tidur. Deg-degan setengah mati takut tidak bisa mengerjakan soal. Bahkan tidur sempat tidak nyenyak. Di tengah malam aku terbangun. Bangun secara tiba-tiba tepatnya pukul dua dini hari.

Aku coba menarik nafas dalam-dalam sambil meram. Aku keluarkan pelan-pelan dan berharap beban keluar bersamaan dengan nafas yang keluar. Lima menit terus aku lakukan tapi percuma. Akhirnya aku beranjak dari tidur menuju kamar mandi. Aku putar keran lalu menadah air yang keluar dengan kedua tangan. Sambil membaca doa, aku mengambil wudhu.

Semoga di solat malam ini bisa menenangkan kedeg-deganku. Tidak lupa aku berdoa agar hari pertama di UN ini aku bisa mengerjakannya dengan lancar dan tidak ada kesalahan teknis terjadi. Setengah jam melakukan ritual ibadah cukup membuat kantuk. Berkali-kali mulut menguap menandakan bahwa aku harus melanjutkan tidur.

Selama tiga hari aku terus-terusan dilanda bangun di tengah hari. Di saat itu pula aku melaksanakan solat malam. Aku terus berdoa agar ujian ini dilancarkan. Dan tidak terasa tiga hari berlalu. Benar-benar lega. Aku pulang dengan senang dan tanpa beban. Tinggal menunggu hasilnya saja. Semoga saja aku mendapat nilai yang baik.

Di perjalanan menuju pulang terdengar desas-desus bahwa akan ada tawuran. “Tanda pengenal nama sekolah lebih baik dicopot saja. Karena sekolah kita lagi diincar sekolah sebelah,” begitu kata teman yang selalu pulang bersama dengan aku. Kami yang pulang hanya berempat kemudian melepaskan nama sekoah yang ada di lengan sebelah kanan.

Kami saling bantu melepaskan lencana nama sekolah. Sampai pulang di rumah tidak kejadian apa-apa baik pada diriku atau yang ada di sekitar. Ternyata kabar tawuran itu hanya info bohong. Bodohnya aku mempercayainya. Gara-gara itu, seragamku jadi bolong akibat badge yang ditarik karena panik.

Masa-masa UN telah selesai. Kali ini aku harus belajar melanjutkan ke target selanjutnya. Aku berpikir tidak perlu belajar terlalu keras karena aku sudah melakukannya sebelumnya. Hanya tinggal menghapal dan membaca kembali materi yang sudah aku baca. Siapa tahu ada pembahasan yang aku lupa atau terlewat kemarin.

Dan ternyata ada kabar buruk. Pemerintah kali ini tidak lagi mengambil kebijakan penerimaan siswa baru dengan tes, melainkan dengan nilai UN. Mati aku! Sekolahku terkenal dengan nilai siswa yang standar, tidak tinggi dan juga rendah. Jarang sekali siswa yang lulus dengan rata-rata delapan. Sangat sulit bahkan.

Terus bagaimana dengan materi yang sudah aku hapal? Kalau begini percuma. Tiba-tiba aku pesimistis tidak akan bisa lulus di sekolah yang aku impikan. Hingga akhirnya pengumuman kelulusan tiba. Setiap siswa harus datang bersama orang tuanya. Jaga-jaga kalau anaknya tidak lulus mereka bisa menenangkan.

Di sekolah aku melihat wajah-wajah ceria pada teman. Aku menebak bahwa mereka lulus. Lalu bagaimana dengan aku? “Sudah ambil nilai, Jef?” kata teman wanita yang pernah sekelas di kelas satu. “Belum. Baru mau ambil. Lu lulus?” dia tersenyum, “Iya. Kabarnya angkatan kita lulus semua.”

Aku lega mendengarnya. Semoga demikian seperti yang dia katakan. Aku pergi ke sekolah bersama Ayah. Kali ini info yang beredar benar. Tidak ada yang tidak lulus. Aku sangat senang karena aku bisa lanjut ke Sekolah Menengah Atas. Kebahagiaan itu datang hanya sesaat. Saat melihat nilai, aku sangat tidak puas. Jika dirata-rata, aku mendapat tujuh.

Bersambung…..

Previous
Next Post »
0 Komentar