Ini adalah cerita sisi lain dari pekerjaan aku sebagai seorang jurnalis. Mencari fakta dan memberi tahu kepada civitas kampus merupakan kebiasaanku setiap harinya. Untuk terbitan kali ini, aku mendapat narasumber untuk penulisan berita yang sama dengan Rahman, jadi kami harus bekerja sama untuk menemui narasumber.
Sebelum melanjutkan sisi lain ceritaku, seperti biasa aku perkenalkan dulu yang namanya Rahman. Ini adalah foto beserta sedikit informasi tentang dia.
Dulu waktu pertama kali kenal, Rahman manggil aku dengan sebutan ‘Bang’. Hal itu karena aku adalah senior dia di jurusan. Tapi lama-kelamaan dia ngelunjak dengan manggil aku ‘Jap’, kemudian dengan seringnya aku manggil dia ‘Gembel’ atau ‘Mbel’, ia mengikuti panggilan itu kepadaku.
Lanjut ke cerita. Saat mencari berita aku masih belum paham maksud berita yang akan aku angkat, kemudian aku konsultasi kegalauanku ke Pemimpin Redaksi (Pemred) untuk mendapat pencerahan. Ia pun menyaranakan untuk menghubungi seniorku, aku memanggilnya Bang Daniel. Ia paham dengan masalah ini, dan beliau adalah anggota komisi X DPR RI.
Setelah menelponnya, Bang Daniel mengajakku untuk ke tempat kerjanya di Gedung DPR, dan aku pun mengiyakan permintaannya walaupun agak sedikit malas pergi ke sana. Namun Pemredku memberikan bocoran kalau berbincang dengan Bang Daniel, aku bisa dapat asupan darinya. Mungkin juga ia akan mengajakku berbincang di café.
Rasa malas pun buyar seketika setelah mendengar cerita Pemred. Dengan semangat aku langsung pergi ke Gedung DPR dengan Rahman. Di perjalan aku membahas akan dapat apa di sana dengan Rahman.
“Wah, nggak sabar ni ketemu sama Bang Daniel,” aku memulai pembicaraan. “Kira-kira kita dapet apa ya? Starbuks bisa kale,” aku melantur.
“ngga mau gw Mbel kalau Starbuks mah, perut gw laper. Gw mau makan nasi,” ingin Rahman.
“Iya juga sih gw juga,” Aku setuju dengan Rahman. “Tapi Starbuks gw juga ga nolak. Hehhehe,” aku menyeringai.
Setelah menempuh perjalanan satu jam, kami pun tiba di Gedung Nusantara DPR sesuai dengan keinginan Bang Daniel. Ia menjemputku karena kami belum pernah masuk ke Gedung DPR. Walaupun sempat nyasar, tapi ketemu juga pintu masuk Gedung DPR setelah bertanya kepada orang di jalan. Tidak lucu kan wartawan nyasar karena malu bertanya.
Setelah bertemu dengan Bang Daniel, kami diajak mengikutinya ke ruang sidang. Tempatnya benar-benar nyaman, namanya juga gedung pemerintahan pasti bagus. Ruangannya dingin dengan cat yang masih terlihat terang, belum luntur. Dan kami sampai di ruangan sidang tempat Bang Daniel rapat menyusun undang-undang.
Aku melihat patung Garuda begitu besar yang tergantung di tembok. “Jadi ini yang namanya tempat rapat di DPR,” kagumku dalam hati. Dan kami disuruh duduk di sebelah kursi Bang Daniel. Kursi yang sangat nyaman dan empuk saat diduduki.
Setelah berbincang-bincang selama setengah jam, aku pun mendapatkan pencerahan darinya tentang berita yang akan aku tulis. Dan kami pun solat magrib karena waktunya sudah tiba. Bang Daniel mengantarkan kami ke tempat wudu.
Sebelum kami sampai di tempat wudu, aku mencium aroma yang begitu membuat perut berdansa. Aku menengok ke kiri dan kanan, ternyata benar ada makanan di sini. Aku pun menepuk bahu Rahman. “liat tuh,”
“Wah bener juga, bakal merdeka kita di sini,” senyum Rahman.
Kami pun solat berjamah, tapi Bang Daniel tidak ikut berjamaah dengan kami. “Laper ni Mbel,” ucapku sambil mengelus perut.
“Sama gw juga, ayo dong Bang tawarin kita makan,” melas Rahman.
“Yaudah kita berdoa sama Allah supaya kita bisa dapat makan di sini,” dan aku berdoa sambil mengangkat kedua tangan supaya bisa dapat makanan di sini. Rahman tertawa melihat kelakuanku.
Aku dan Rahman mempersiapkan kata-kata jika Bang Daniel menawari kita makan. “Nanti kalau Bang Daniel nawarin kita makan, bilang aja kita udah makan tapi tadi pagi,” aku memulai ide.
“Jangan gitu Mbel, ntar kita malah ga dapet makan kalau kaya gitu. Nanti kalau dia bilang ‘oow yaudah kalau udah makan’ gimana,” Rahman menolak ideku.
“Bener juga ya,” aku mengangguk setuju. “Kalau gitu nanti kita jawab aja ‘belum, eh salah udah Bang’, gimana?” aku memberikan opsi lain.
“Hahahhaaa, tolol lu,”
“Kalau Bang Daniel nawarin kita mau makan atau ngga kita jawab aja ‘ga usah bang’ tapi kepala kita mengangguk iya,” aku memberikan rencana kedua.
“Hahahahahaa,” Rahman mendorongku sambil tertawa terbahak-bahak.
Kami menunggu Bang Daniel menawari kita makan, tapi setengah jam menunggu tidak ada perbincangan seperti apa yang kami mau. Kami pun pulang tertunduk lesu dengan perut kosong, muka pucat, berjalan lunglai.
“Gimana dah tuh pimred, ga sesuai sama yang kita harapin ni Mbel,” kesalku dengan mengelus perut. “Dasar senior tiri, kaya nggak pernah jadi mahasiswa aja,”
Keesokan harinya aku berangkat pagi-pagi karena hari ini mau liputan ke Gedung Departemen Agama (Depag) untuk wawancara lagi. Aku pun pergi ke sana dengan Rahman lagi dengan mengendarai motor kesayanganku. “Firasat gw kita bakal makan di sana ni Mbel,” sesumbar Rahman.
“Masih aja lu ngarepin yang nggak pasti, kemarin aja yang ada kenalan kita ga dapet makan. Gimana di Depag yang ga punya kenalan,” jawabku tanpa ekspresi.
Kami tiba di Depag tanpa nyasar seperti kemarin. Tapi setelah tiba di sana, kami tak tahu harus ke mana dan wawancara dengan siapa. Rahman bertanya ke resepsionis, dan kami tahu ke mana harus bergerak.
Walaupun tahu ke mana kami harus pergi, narasumber tak ada di tempat. Kami pun pulang dengan tangan kosong. Waktu adzan zuhur tiba, kami solat zuhur di Masjid Istiqlal. Aku sudah lama tidak ke sana, maka aku mengajak Rahman untuk solat di sana.
Setelah solat kami pergi ke Depag lagi untuk meminta nomor kontak untuk dihubungi, jika sewaktu-waktu kami butuh informasi. Kami berjalan lemas tanpa asupan energi ditambah serangan terik matahari yang begitu panasnya.
Setelah mendapatkan nomor kontak, aku melihat ada banyak makanan tersedia di meja. Para pekerja terlihat sedang mencicipi makanan yang tersedia. Air liurku terasa penuh di mulut. Kutelan semuanya seperti sedang merasakan makanan yang tersedia di sana.
“Ayo Mbel kita ikut makan juga,” aku mengajak Rahman.
“Yakin lu?” Rahman ragu.
“Udah ayo kita bantai, yang penting kita sok keren aja. Jangan keluarin tampang tolol, ntar ketauan kalau kita bukan orang sininya,” aku meyakinkan Rahman.
“Ayo berangkat, tapi lu duluan ya,”
Aku berjalan duluan menjaga Rahman dari depan. Kuambil piring, diambil satu persatu makanan yang ada. Rahman mengikuti caraku dengan tampang tanpa bersalah. Makanan pun telah terambil, dan kami mencari tempat duduk untuk menyantap hidangan yang sesungguhnya bukan untuk kami.
“Ayo kita cari tempat duduk,” kuajak Rahman mencari tempat duduk. Setelah mencari kesana-kemari, tempat duduk penuh dan akhirnya kami makan berdiri.
“Tuh kan bener firasat gw, lu sih ga percaya,” Rahman meyakiniku bahwa dugaannya benar dan dapat dipercaya.
“Iya deh, ga percuma kita kemari. Walaupun kemarin kita ga dapet makan tapi hari ini kita dapet makan. Hohohoohhoo,” aku tertawa senang. Kami pun pulang dengan ceria, walaupun narasumber yang kami cari, tidak berhasil ditemui. Tapi misi kedua kami telah tercapai, yaitu dapat makan. Dan akhirnya doa kami dijabah juga.
0 Komentar