Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 35)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Aku benar-benar merasa seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin aku melakukan kesalahan yang sangat fatal. Pantas saja suaranya tidak enak. Kami bermain kacau karena aku. Aku adalah penyebab buruknya penampilan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Setelah mendengar bisikan Danu, aku hanya terdiam. Tidak keluar sepatahkatapun yang keluar dari mulutku.

Aku termangu tanpa mengacuhkan keadaan sekitar. Lalu Danu kembali berbisik padaku. “Lu diem-diem saja soal ini.” Jadi aku mengerti. Ternyata dia memang sengaja tidak memberitahu aku sebelum bermain tadi harus memainkan senar bass darimana. Aku sangat kecewa padanya. Hanya karena ingin bisa tampil, dia merahasiaan masalah seperti itu.

Penampilan band setelah aku juga sama. Sepertinya pemain bass mereka sama bodohnya denganku. Atau mungkin ini yang perdana baginya memainkan bass dengan lima senar. Aku ingin sekali mengatakan pada yang lain soal ini. Tapi aku masih dalam posisi yang goyah. Aku sangat tidak ingin berbicara pada siapapun. Bahkan meminta maaf pada Asep dan Ihsan pun tak bisa.

Beruntung Asep tahu hal itu. Sambil berbincang santai dengan yang lain, dia membocorkan hal yang beberapa orang tidak tahu. Asep lalu menginstruksikan pada yang lain itu untuk menyebarkan agar tidak ada kesalahan. Aku tidak menyangka Danu sampai melakukan tindakan seperti itu demi bisa lolos di acara yang bakal dilihat seluruh angkatan.

Pengumuman muncul dengan cepat. Keesokannya sudah ada di majalah dinding sekolah. Dan seperti yang kuduga band Avatar tidak lolos audisi terakhir. Band yang dipanggil setelah aku juga sama. Permasalahannya ada di permainan bass.

Karena ketidaklolosan ini rasa bersalahku makin jadi. Seandainya saja aku tidak sebodoh itu, mungkin masih ada harapan untuk bisa tampil. Malu rasanya bertemu dengan Ihsan dan Asep. Rasanya ingin bolos sekolah saja selama seminggu. Di kelas aku hanya diam saja duduk di kursiku.

Yang kulakukan hanya melamun dengan pikiran yang berlari-lari. Keramaian kelas terasa sepi bagiku. Aku tidak merasakan kehadiran yang lain. Berbeda sekali dengan Asep dan Ihsan. Mereka biasa saja seperti tidak ada yang dirisaukan.

Keresahanku mulai hilang saat Asep mengajak ngobrol. Tak sedikitpun dari dia membahas masalah kegagalan kami tampil di pentas seni sekolah. Begitu pula dengan Ihsan. Kami bercanda seperti biasa. Tidak ada rasa kesal dari mereka. Lega rasanya meski masih ada perasaan tidak enak.

Setelah itu aku jadi sering nge-band lagi. Band dengan personil baru. Rapsan juga ikut karena dia merasa tidak cocok dengan Danu. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa selera Danu sudah sangat berbeda. Gairahnya bermusik dengan Danu sudah hilang. Meski tidak sesering dulu, kami ke studio band kalau memang sedang bosan. Biasanya Asep atau Rapsan yang selalu mengusulkan.

Di awal kelas tiga saat masih belum penuh jam belajar, sekolah kembali mengadakan penampilan. Hanya saja kali ini tidak ada audisi dan penampilan setiap kelas. Waktu itu ada acara televisi yang suka datang ke sekolah-sekolah. Sekolah kami mendapat gilirannya.

Sambil menunggu penampilan utama dan pembaca acara, sekolah mengadakan acara internal. Acara kecil-kecilan untuk menunggu penat karena yang punya hajat datang telat. Pembawa acaranya dari adik kelas. Acara ini bisa dijadikan ajang melihat-lihat junior. Karena memang saat kami kelas dua, kami masuk pagi dan mereka siang. Jadi kami yang senior tidak tahu semua wajah mereka. Paling yang hapal adalah para senior dengan junior yang aktif kegiatan OSIS atau ekstra kulikuler. Selebihnya siapa yang tahu.

Karena aku memang tidak terlalu eksis, yang kukenal hanya teman-teman seumuran. Ajang seperti ini bisa aku jadikan tempat mengenal mereka. Meski tidak tahu namanya, yang penting kenal wajahnya. Apalagi wajah adik kelas yang cakep.

Acara seperti ini yang ditunggu-tunggu oleh siswa seperti kami. Kami bisa bermain dan santai. Tidak ada jam pelajaran. Sungguh bebas. Akan tetapi teman-temanku pada tidak ada. Di kelas hanya ada Rapsan saja dengan teman lain yang tidak biasa aku bercanda. Asep dan Ihsan tidak ada. Teman kelas sebelah yang juga teman kelas satu dan tempat aku kumpul juga demikian.

Hingga akhirnya Riski mengirim pesan singkat. “Gua ada di kelas anak dua. Ke mari saja,” katanya. Aku bergegas ke sana. Ternyata teman-teman kelas satuku pada di sana. Rapsan lebih memilih ke luar sekolah untuk merokok.

Riski sedang mengajak ngobrol adik-adik kelas. Ada Michael, Akbar, dan Aldy juga. Aku dikenalkan dengan adik-adikan mereka. Sejak kapan mereka kenal dengan adik kelas? Apa aku terlalu sibuk dengan teman kelas? Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga sekarang. “Desti.” “Aivani.” “Agnes.” “Tari.” Aku berkenalan dengan keempat adik kelas. “Jefri.”

Bersambung......
Previous
Next Post »
0 Komentar