Menuju Pulau Haruku, Maluku Tengah

Banyak orang kota yang khususnya tinggal di Jakarta ingin sekali menginjakkan kaki di Indonesia bagian timur. Katanya, di sana masih bagus pemandangan alamnya karena belum dijamah banyak orang. Akan tetapi tidak semua orang bisa mencapainya. Alasan ekonomi menjadi penghambat. Menuju Indonesia Timur harus merogoh kantong dalam-dalam karena sangat mahal. Pergi ke sana lebih mahal daripada ke Malaysia atau negara Asia Tenggara lainnya.

Kok bisa? Ya bisa. Transportasi di sana masih belum memadai. Sungguh berbeda dengan yang ada di Jakarta. Kendaraan umum dari mana hendak ke mana serba ada. Kalau tidak ada, tersedia taksi. Jika taksi dirasa mahal, pilih ojek. Masih tidak mau juga, bisa nebeng orang, itu kalau searah dan bersedia. Pokoknya serba ada.

Sedangkan di tempat yang jauh dari ibu kota kendaraan umum jarang. Memang ada tapi sedikit dan harganya pun mahal. Belum lagi kondisi jalan darat yang belum bisa dinikmati secara sempurna. Di tempat yang serba disediakan seperti Jakarta, jalan tanah merupakan hal yang tidak lazim. Tapi di Indonesia Timur sebaliknya. Belum lagi kalau daerah tersebut merupakan kelupauan. Bisa pusing kalau ingin ke mana-mana. Listrik juga sering dipadam. Kita akan merasakan penderitaan mereka yang sebenarnya jika sudah ke sana.

Kali ini aku dapat kesempatan pergi ke Ambon, tepatnya Pulau Haruku. Pulau Haruku berada di Maluku Tengah. Dari bandara Internasional Pattimura, butuh waktu dua jam. Untuk tiket pesawat, jangan ditanya. Dari bandara Soekarno-Hatta ke Pattimura dibandrol Rp 1.800.000,-. Ini bukan waktu libur. Kalau ada momen besar, bisa lebih mahal lagi.

Di Pulau Haruku

Perjalanan pesawat memakan dua jam. Beruntung aku menaiki maskapai yang bukan abal-abal. Jadi selama perjalanan dapat makan dan tidak ada transit di bandara lain. Aku bisa tidur nyenyak menunggu tiba di lokasi.

Tidak berbeda dengan bandara lain, selalu saja ada calo ataupun kendaraan umum yang menawarkan jasanya. Beruntung aku punya kenalan di sana. Jadi bisa dijemput dan orang-orang yang menawarkan bisa tidak rewel. Karena biasanya pasti kena tembak harganya. Aku pernah mengalami itu saat pulang kampung ke Padang. 

Sebenarnya kasian sih karena mereka ingin melangsungkan hidup. Aku pun ingin membantunya. Tapi dengan cara mereka yang seperti ini, jadi enggan. Rasa iba jadi hilang akibat ulah mereka sendiri. Padahal masih ada cara yang lebih terhormat dibandingkan nembak harga lalu ada jatah.

Karena aku dan teman yang lain akan menginap di rumah orang, kami putuskan belanja keperluan selama beberapa hari. Kami bawakan juga makanan agar tidak begitu merepotkan. Harga di Mall tidak begitu mahal, malah barang-barang seperti mainan lebih murah. Mungkin karena menjelang natal dan tahun baru jadi mereka cuci gudang. Akan tetapi makanan di sini agak mahal. Contohnya saat makan pecel ayam. Kami berlima menghabiskan paling sedikit Rp 250.000,- beserta minum es the.

Puas berbelanja dan makan, kami ke Pelabuhan Haruku, Desa Tulehu. Di sini memakan waktu satu jam. Enaknya, jalan di Ambon tidak macet meski jam pulang kantor. Kami berangkat pukul 16.45 WIT. Sejam kemudian tida di lokasi dengan kecepatan minimal 70 Km/jam. Di jakarta tidak mungkin bisa mendapatkan kecepatan seperti itu jika hari libur. Aku benar-benar seperti sedang liburan karena kondisinya tenang.

Belanja untuk persediaan makanan

Tiba di Desa Tulehu aku kaget. Aku kira pantai di daerah timur pasti bagus-bagus. Bayangan itu tidak seperti yang banyak diceritakan. Memang bau pantai sungguh terasa di sini. Air pantainya juga jernih. Sayangnya banyak masyarakat yang tidak paham akan kebersihan. Banyak sampah yang dibuang ke bibir pantai. Sungguh kotor. (maaf tidak ada gambar karena teleponku kena musibah jadi data-data foto ilang semua).

Dari sini kami naik speedboat. Barang-barang yang kami punya diangkat oleh warga yang bekerja sebagai pengangkut. Aku kira jasa ini tidak bayar. Lagi-lagi aku salah. Kesalahan terbesar karena aku menanyakan harga angkut. Mereka tembak dengan harga Rp 50.000,-. Saat aku tanya dengan pengendara perahu, ternyata aku bisa bayar Rp 5.000,-. Beda jauh sekali yah. Biar saja. Anggap itu rezeki mereka.

Dari pelabuhan yang tidak begitu besar menuju Pulau Haruku ini butuh satu jam. Belum turun ke pulau, sudah ada orang yang menunggu kami. Dia berdiri di pinggir pantai melihat setiap speedboat yang datang. Ternyata dia cemas takut kami tersasar. Karena sebelumnya ada orang yang nyasar ke tempatnya. Orang tersebut pergi ke pulau sebelah. Siapa orang yang menunggu kami ini? Simak ditulisanku selanjutnya. Yang jelas kamu akan terharu dengan kisahnya.

Foto iseng di Pulau Haruku





Previous
Next Post »
0 Komentar