Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 41)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Karena cinta monyet inilah yang membuat aku lupa akan target setelah lulus SMP. Kadang setiap kali aku belajar, selalu terbayang wajah Charnia. Selalu saja aku bertanya apakah dia benar memiliki perasaan dengan aku? Berbicara sekali saja aku belum pernah, lalu bagaimana dia bisa suka aku? Rasanya itu mustahil. Tapi teman semeja bilang dia memerhatikan aku. Itu kan cuma sekilas saja.

Tapi mungkin juga dia selalu memperhatikan saat aku tidak menyadarinya. Lalu apa yang membuat dia suka? Pertanyaan itu terus menggantung dan tidak pernah ada jawabannya. Aku tidak pernah bisa mengajak dia bicara duluan. Penyebabnya iya itu, aku tidak siap diledek teman satu kelas. Kalau begini caranya, tidak akan mungkin dekat dengan Charnia. Pecundang!

Dengan Charnia-lah aku merasakan pertama kali suka dengan wanita di masa pubertas ini. Akhirnya aku kalah oleh keinginan bahwa aku akan menghindari wanita. Bahkan aku sempat tidak mau berkawan dengan teman SD yang satu sekolah lagi di SMP karena dia selalu membahas wanita di depan aku. Segala sesuatu yang dilakukannya hanya untuk wanita yang dia suka itu.

Aku muak. Bagiku masih ada yang lebih bahagia dibanding dengan mengejar wanita yang belum jelas akan menjadi jodoh. Sebenarnya aku tidak masalah jika temanku ini berjuang untuk mendapatkan wanita yang dia suka ini. Tapi tidak berlebihan juga. Bahkan aku sempat dibuat repot oleh dia karena ingin mendapat perhatian dari wanita ini.

Biasanya aku yang selalu pulang bareng bersama dia, kini sudah tidak lagi karena teman yang juga satu perumahan ini telah berbeda. Aku merasa sudah kehilangan salah satu teman kecilku. Aku memutuskan untuk menghilang sebentar darinya. Mungkin untuk beberapa bulan tidak bertemu dia lagi. Aku mencari teman pulang bareng. Di kelas ada beberapa teman yang satu arah hingga tempat angkutan umum dari berbagai jurusan kumpul. Setidaknya aku jalan ada teman ngobrol.

Ternyata seperti ini rasanya suka dengan wanita. Sekarang aku merasakan juga apa yang teman-teman rasakan. Dulu aku mengatakan mereka yang sedang kasmaran menjadi tidak asik dan berlebihan perilakunya. Aku sempat pada kondisi itu karena Charnia. Di kelas pernah sekali salah tingkah di depan dia hanya karena membicarakan sesuatu dengan teman sekelas.

Aku ingin terlihat keren di depan Charnia. Alih-alih membuat dia terkesan, aku malah menjatuhkan diri sendiri dengan kelakuan konyol. Malu rasanya. Sungguh bodoh aku bisa melakukan itu. Butuh akal yang sangat sehat untuk melihat apa yang sudah aku lakukan. Lagi-lagi aku hanya bisa menutup wajah meski sedang di kamar sendirian saking malunya mengingat kejadian bodoh itu.

Hingga kami naik ke kelas tiga aku masih tidak sanggup untuk bicara dengan Charnia. Aku hanya bisa melihat dia dari kejauhan saja berbincang dengan teman-temannya. Menatapnya secara sembunyi-sembunyi saja membuat aku senang. Hormon  oksitoksin dan vasopressin yang terlepas saat jatuh cinta ini keluar tanpa henti dan menciptakan suasana seperti sedang menggunakan narkoba.

Melihat Charnia selalu saja ingin senyum bawaannya. Lalu aku membayangkan sedang berdua bersamanya di jam istirahat usai olah raga. Kami tertawa bersama setelah terengeah-engah sehabis lari mengelilingi sekolah.

Aku dan Charnia duduk di bangku yang terbuat dari semen. Bangku yang dibuat sekolah untuk santai-santai. Tidak ada pengganggu di sekitar kami. Charnia lalu meneguk air botol yang sedari tadi dia bawa. Air keringat menetes dari pipi sebelah kiri. Aku menempelkan jempol di pipinya lalu mengusap air yang keluar. Charnia terlihat malu. Pipinya memerah. Aku tersipu. Tidak ada yang keluar kata-kata dari mulut kami.

Aku tersenyum membayangkan itu. Hingga teman yang disukai Charnia menepuk bahu. Dia tertawa melihat aku senyum sendiri seperti orang gila. Aku seperti sedang menggunakan ganja karena ketawa tanpa sebab. Jadi inikah cinta?

Di kenaikan kelas aku membayangkan bahwa kami akan berpisah. Kebiasaan di sekolah, setiap kali naik kelas semua siswa diacak lagi kelasnya. Jadi teman kelas satu tidak akan sama dengan kelas dua. Begitu pula seterusnya. Paling ada beberapa teman yang sama dengan kelas sebelumnya dan itu tidak banyak.

Ada sembilan kelas di angkatan kami. Setiap kelas ada 40 siswa. Jika dipecah ke masing-masing kelas, berarti satu kelas ada empat hingga lima siswa. Jadi kemungkinan aku bisa satu kelas dengan Charnia sangat kecil, sekitar 1:9. Tapi aku tetap berharap masih bisa satu kelas dengan dia. Mungkin saja di kelas tiga nanti aku berani bicara dengannya.

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar