Dinas Luar Kota Perdana

Saat pertama kali masuk kuliah dulu, pertanyaan paling sering dilontar oleh dosen yang baru kenal kami adalah kenapa memilih Jurnalistik sebagai studi lanjutan. Jawaban yang sering dijawab pula adalah bisa punya kesempatan untuk pergi ke berbagai tempat. Alasan lainnya adalah karena suka menulis, ingin terkenal, dan macam-macam.

Jawaban seperti itu memang tidak ada salahnya. Beberapa kali aku mengikuti diskusi atau cerita dari orang yang sudah bekerja di media massa adalah keseruan mereka liputan di luar kota. Bahkan sering juga dari mereka keluar negeri karena mendapat tugas mencari informasi di daerah tersebut. Baginya, passpor yang mereka punya sudah seperti telur asin, yakni banyak capnya.

Aku semakin termotivasi untuk menjadi wartawan. Tujuan utamaku bukanlah ingin keluar negeri, tapi agar bisa menjadi pengawas para pemegang jabatan di pemerintahan. Beberapa perubahan sistem di negara ini terjadi karena pena para wartawan. Apalagi kalau tulisannya tidak ada kebohongan dan ditulisan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, pasti makin banyak orang yang kenal dia dengan karyanya meski tidak pernah melihat wajahnya.

Setelah lulus kuliah pun keinginan untuk menjadi penulis tercapai. Meski harus jadi pengangguran beberapa bulan, menyebar lamaran, mengikuti beberapa tes seleksi masuk, akhirnya aku diterima menjadi wartawan majalah. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya agak sulit karena harus mendapatkan berita eksklusif dan beda dengan media harian.

Tapi harus gimana lagi. Karena eksklusif itulah yang menjadikan wartawan majalah disegani. Memang medianya belum terkenal. Lebih terkenal media online-nya. Kalau aku sebut dari Majalah D******, para narasumber pasti lebih menyebut nama belakangnya. “Oh jadi D punya majalah juga? Baru ya?” katanya. Aku hanya bisa sabar menjawab dengan jawaban yang sama. “Sudah lama Pak.” 

Gambar ilustrasi: Wawancara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat

Dan pasti setelah itu dia menanyakan terbitannya. Ketahuan mereka tidak pernah baca tulisannya. Jelas lah. Terbitannya tidak dicetak. Orang yang ingin membacanya tinggal unduh saja di website. Padahal, menurutku beberapa tulisannya tidak kalah keren dengan majalah tetangga yang sudah terkenal. Tapi apa boleh buat, dengan personil yang seadanya membuat produk kami kalah dengan kedalaman tulisan dan isu dari mereka.

Lupakan soal terbitan. Kita kembali pada salah satu keuntungan menjadi seorang wartawan. Media online tempat aku bekerja dikenal semua orang Jakarta. Bahkan berbagai pelosok daerah juga membacanya. Oleh karena itu banyak sekali undangan dari perusahaan lain untuk meliput acara mereka baik dalam maupun luar negeri.

Mereka biasanya menundang karena ingin diberitakan kegiatan atau produknya. Biasanya, atasan menawarkan siapa yang mau berangkat. Sayang, aku tidak pernah punya kesempatan untuk ikut dalam undangan ini. Saking sibuk dan berdedikasi dengan rubrik yang aku jaga, membuat diriku harus merelakan kesempatan itu.

Kesempatan paling banyak ditawarkan adalah undangan keluar negeri. Saat dilempar ke forum, banyak yang menawarkan diri. Aku sadar bahwa kesempatan ini kecil. Yang hanya bisa aku lakukan hanya menarik nafas dalam-dalam, membuangnya pelan-pelan sambil mengelus dada.

Aku tahu diri bahwa aku tidak akan pernah bisa mendapat kesempatan. Pernah satu kali di saat tidak ada yang bisa untuk menghadiri undangan menjelajah beberapa kota di Indonesia Timur. Tapi apa daya, masih juga tidak diberi kesempatan. Aku yakin pasti ada jalan yang lebih baik dari ini. Hanya bisa kesabaran yang bisa menenangkan aku. Pasti aku akan memetik hasil dari sini. Aku percaya itu.

Penerbangan menuju Maluku

Akhirnya aku pindah pekerjaan. Masih di perusahaan yang sama dengan tugas yang sama. Hanya saja bergerak di gambar bergerak. Aku sangat bersukur atas kepindahan ini. Ada alasan lain kenapa aku sangat senang dipindah pekerjaan. Tapi tidak akan aku ceritakan di sini. Mungkin di kesempatan yang lain. Itu pun kalau aku sudah mantab untuk menulisnya. Kalau tidak, biar jadi cerita aku dan Tuhan saja.

Satu bulan bekerja di sana aku langsung ditawarkan liputan ke luar kota. Tidak tanggung-tanggung, aku dikirim ke Maluku Tengah. Aku bersyukur pada Tuhan lalu sujud sukur meski tidak tahu doanya. Agak berlebihan memang, tapi aku sungguh senang. Dan yang paling membuat aku lega, atasan yang mengutusku itu bilang, “Selamat liburan.” Inilah dinas luar kota perdanaku.

Dia tahu bahwa wartawan yang dikirim di luar kota memiliki pikiran untuk liburan. Lepas dari penat macet Jakarta dan kondisi politik yang menyebalkan. Meski begitu aku sadar bahwa aku tetap dalam tugas. Tidak ada di pikiran untuk jalan-jalan atau pergi ke tempat wisata di sana. Dikirim keluar kota dan tempat baru sudah membuat aku senang karena aku bisa mendapat pengalaman yang belum pernah didapat sebelumnya. Terima kasih Tuhan atas nikmat selalu Engkau berikan padaku.

Di Pulau Haruku, Maluku Tengah

Previous
Next Post »
0 Komentar