Aku Tidak Butuh Kalian

Semester ganjil sudah berakhir. Seperti biasa Indeks Prestasi (IP) yang aku dapat tidak begitu bagus. Tapi bisa dibilang lumayan karena di atas tiga dan tidak ada nilai “C.” Tidak ada huruf itu saja sudah anugerah. Dari tujuh semester yang aku lalui, dua semester aku lalui dengan nilai di setiap mata kuliah di atas tujuh yang jika dikonversi menjadi abjad adalah B. Semester sisanya pasti ada saja C.

Semester dua merupakan nilai paling buruk. Akumulasi IP 2.9. Nilai yang paling buruk. Padahal teman yang lain bisa mendapat nilai jauh di atas itu. Apa salahku? Aku rajin kuliah, mengerjakan tugas. Setelah ditelisik, aku suka membuat gaduh di kelas. Memang tindakan yang salah. Tapi lebih salah mana dengan dosen yang membosankan dan tidak bisa mengajar? Aku buat gaduh agar kelas tidak suram. Itu niatku, tidak lebih.

Salah satu matakuliah wajib yang harus dilakukan yakni Kuliah Kerja Nyata. Kami harus turun ke masyarakat dan membantu sedikit kesulitan mereka.

Semester delapan tidak ada lagi mata kuliah yang harus diambil. Aku hanya tinggal mengerjakan skripsi. Buatku itu sangat mudah. Hanya saja jika aku mengeveluasi nilai, tidak cukup dengan nilai sejelek ini. Setelah dihitung-hitung, nilai C yang kupunya ada sembilan. Banyak juga. Padahal jurusan ini termaksud paling mudah mendapat nilai bagus. Tapi aku tak perlu menyalahkan siapapun. Aku hanya butuh intropeksi karena pasti ada yang salah pada diriku.

Sembari mengerjakan skripsi, ada baiknya aku memperbaiki nilai. Sambil menyelam minum air. Aku cari matakuliah yang sekiranya jika diulang bisa mendapat nilai yang baik. Aku geledah semua kelas melalui situs yang disediakan kampus. Pilihan matakuliah yang disediakan di jurusan tidak memberi lebih. Aku terpaksa telusuri jurusan lain yang memberikan kebutuhkan. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan adik kelas yang cakep.

Ini sih beberapa pulau terlampaui. Tapi itu tidak mudah. Aku harus tebal muka. Aku takut kualat karena dulu saat masih semester pertama aku suka meledek senior yang ngulang. Kali ini aku ada dalam kondisi tersebut. Tapi aku harus bisa demi mendapat nilai yang memuaskan meski jika sudah memperbaiki, masih sangat jauh dengan teman lain.

Masuk pada hari pertama kuliah. Kelas ternyata kosong. Paling pada telat dalam pikiranku. Aku pilih menunggu di depan kelas lalu duduk di samping pintu menunggu orang datang. Satu jam menunggu tidak ada kehidupan. Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa. Jurusan ini tidak aku kenal. Siapa yang harus bisa aku andalkan?

Aku ingat kalau junior di organisasi berada di jurusan ini. Tidak ada salahnya minta tolong padanya untuk bertanya pada temannya yang ada di kelas ini kenapa tidak ada orang di jam yang telah ditentukan. Karena jika pindah kelas, sama saja aku tidak masuk sampai semester berakhir. Ketua kelasnya pun tidak akan memberi tahu karena menganggap aku bukan mahasiswa yang sedang mengulang. Aku temui dia segera.

Ternyata junior menolak. Padahal permintaanku hanya kirim pesan singkat ke temannya apa yang terjadi sampai kelas kosong? Apakah akan pindah jadwal? Aku menarik nafas panjang. Itu memang hak dia untuk menolak. Setelah berpikir panjang, aku bernegoisasi akan berikan hadiah jika mau menolong. Dia bersedia. Aku sudah serahkan hadiah itu dan dia mengirim pesan ke temannya. Kami berpisah dan aku minta dikabarkan jika ada balasan pesan.

Respon temannya agak lambat. Aku terus menunggu. Duduk di lantai dengan perasaan was-was. Beberapa kali aku melihat telepon genggam siapa tahu adik kelasku ini memberikan kabar. Aku sangat butuh nilai pada matakuliah ini karena poinnya cukup besar. Telepon genggam bergetar setelah lima jam menunggu. Aku langsung melihat tanpa sabar. Ternyata pesan dari teman satu kelas. Aku menghela nafas. Telepon genggam aku masukan lagi ke dalam saku.

Telepon genggam kembali berdering. Semoga kali ini pesan dari junior. Ternyata benar. Hanya saja jawabannya tidak memuaskan. Dia menulis, “Iya kelas hari ini libur karena dosennya tidak ada.” Aku bertanya, “Terus minggu depan masuk seperti biasa? Ada tugas tidak?”

Junior lagi-lagi menolak. Dia malas bertanya lagi pada temannya. Kali ini aku menarik nafas lebih dalam dan membuangnya pelan-pelan melalui mulut. Tanpa menyebut perjanjian bahwa dia akan membantu karena sudah aku berikan hadiah, aku memohon. Junior masih menolak. Tapi masih balas pesanku.

Padahal apa sulitnya kirim pesan seperti itu? Toh dia merespon pesan yang aku kirim. Akhirnya aku buntu. Aku pasrah dan jalan terbaik minggu depan aku datang ke kelas lagi meski tidak tahu apakah akan ada matakuliah. Aku berdoa semoga ada kemudahan. Di pesan terakhir padanya aku berkata. “Oke terima kasih. Dan gua ngga akan minta tolong lagi sama lu selamanya.”

Masih ada beberapa sepenggal cerita yang hampir sama mengenai ini. Kisah mengenai orang yang tidak mau memberikan sedikit bantuannya padaku. Sekali lagi memang itu hak mereka untuk menolak. Tapi perlu diingat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Mereka tidak akan pernah hidup sendiri.

Aku pun bukan tipe yang mudah memohon minta bantuan. Aku selalu berusaha mengerjakan sesuatunya sendiri jika bisa. Karena aku berpikir, selama dapat dilakukan dengan kedua tangan dan kaki, kenapa harus pinjam tangan lain? Tapi aku hanya manusia biasa. Ada peristiwa dimana aku terpaksa harus membutuhkan orang lain. Sungguh!

Kalaupun bisa membelah badan, akan kubelah agar pekerjaan itu bisa dilakukan sendiri. Sayang aku bukan naruto yang punya jurus seribu bayangan. Biar saja kalau memang ada orang yang tidak mau membantu. Buatku, masih banyak orang baik di dunia ini yang ada di dekatku.

Itulah sebabnya aku tidak pernah sedih atau prustasi kalau ada orang yang tidak baik. Aku hanya perlu terus perbaiki diri sendiri karena aku percaya orang baik akan dikelilingi orang baik pula. Kalau masih ada orang seperti itu meski aku sudah melakukan yang terbaik, lupakan saja karena aku tidak butuh kalian.

Previous
Next Post »
0 Komentar