Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 46)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Waduh, ini di luar rencana. Lidah terasa kaku sampai tidak bisa digerakkan. Susah sekali rasanya mengucapkan satu huruf saja. Aku coba menggigit lidah mencari cara agar ketegangan ini hilang. Aku mendengar Charnia meringis kesakitan akibat dorongan yang aku buat. Dia menoleh ke kanan melihat siapa yang barusan mengatakannya.

Apa yang harus aku katakan? Aku bingung. Sambil terbata-bata aku mencoba mengeluarkan kata. “Ma..maaf. Gua didorong dari belakang.”

Raut muka Charnia berubah. Dia sepertinya kaget bahwa aku satu kelas dengannya. “Ehh..Ternyata kita satu kelas lagi ya,” katanya sambil mengelus paha kirinya yang terpentok meja akibat kegaduhan. Ini pertama kalinya aku bicara sama Charnia. Sungguh senang rasanya. Hanya saja dia tidak memanggil namaku. Jelas saja, karena kami tidak pernah bicara sebelumnya.

Aku pun bingung mau panggil dia apa. Aku belum pernah mendengar dia disebut oleh teman-temannya jika bicara. Aku selalu mendengar sebutan “Charnia” saja ketika diabsen guru. Tidak ada kata lain. Itu juga jarang. Payah sekali aku ini. Aku hanya mendengar rumor bahwa dia akrab dikenal Nia. Kabarnya pula itu karena dia punya saudara kembar. Sekali lagi ini baru info yang kudengar sekelebat. Belum jelas kebenarannya.

“Iya. Teman sekelas kita di kelas dua pada mencar duduknya.” Hanya itu yang bisa aku katakan. Aku bingung mau mengeluarkan kalimat apa.

“Masa? Lu duduknya di mana?” Charnia lagi-lagi membuka pembicaraan. Ini adalah kesempatan emas. Tidak boleh terlewatkan begitu saja. Kami mengobrol ditemani bising dan dorongan teman satu kelas. Tapi aku menikmati ini. Peristiwa yang sungguh sangat langka. Seandainya saja suasana makin gaduh atau jelan berhenti karena tiba-tiba pintu kelas terkunci, aku pasti bisa lama bicara bersama Charnia. Terima kasih Tuhan atas rencana sudah sangat di luar prediksi ini.

“Tepat di belakang lu sebelah kanan. Lu terlalu asik kayanya sama teman baru. Makanya tidak ngeh sama yang lain,” sepertinya aku sudah mulai terbiasa bicara dengan Charnia. Tapi tetap tidak menyebut namanya. Aku bingung mau sebut apa. Mau bilang Nia takut sok akrab. Kalau Carnia dengan lafal indonesia, terlihat seperti baru pertama kali kenal.

“Oh iya ya?” kami sudah berada di depan kelas mencari tempat yang lega dan tidak ada dorong-dorongan. Di tengah teras kelas tidak begitu sesak. Kami berdiri sejenak di sana.

“Iya. Sampai gua saja yang ada di sebelah lu, tidak kelihatan,” Charnia tersenyum malu seolah-olah mengiyakan ucapanku. Aku luluh. Aku melihatnya tersenyum dari dekat. Sungguh manis. Wajah Charnia makin bersinar saat tersenyum. Pemandangan yang sangat indah. Seandainya aku punya kamera pengintai, pasti akan kuabadikan momen bersejarah ini. “Lu nunggu orang?” aku bertanya agar ada timbal balik perbicaraan.

“Iya, lagi menunggu Desi dan Ega.” Mereka berdua adalah teman sekelas kami. Mereka juga yang selalu bersama Charnia ketika kelas dua dulu. Meski sudah beda kelas, mereka sepertinya tidak bisa dipisahkan. Seperti itulah yang aku lihat. Beda sekali dengan aku yang tidak punya teman dekat. Tidak pernah terlihat bersama satu orang kemana pergi.

“Sudah janjian ya?” Charnia lagi-lagi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku sungguh tidak kuat menahannya. Baru tersenyum seperti ini saja sudah membuatku meleleh. Dengkul terasa lemas tak sanggup berdiri. Ini adalah hari yang sangat bahagia. Hari terbaik di tahun ini.

“Gua satu arah dengan mereka. Jadi kalau pulang selalu bareng,” kali ini Charnia berkata ingin memberi info tambahan. Sepertinya dia tidak ingin bicara sedikit. Mau bercakap lama dengan aku. Sayang temannya keburu datang. Desi dan Ega sudah terlihat dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Charnia pun membalasnya. “Gua duluan yah,” katanya menutup pembicaraan.

Padahal aku masih ingin lama lagi bicara. Tapi ini sudah cukup. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi karena dengkul sudah sangat lemas. Aku tidak berkata apa-apa. Kali aku hanya tersenyum sambil menganggkat tangan setinggi bahu. Dia membalas dengan menepuk tanganku yang sudah siap menunggu kedatangan telapak tangan Charnia. Kamipun berpisah.

Ternyata semakin lama kenal membuat aku tahu begaimana Charnia. Kabar bahwa dia kembar adalah betul adanya. Aku dengar pernyataan dari dia sendiri. Ketika itu ada teman yang bertanya padanya bahwa dia pernah melihat Charnia. Akan tetapi Charnia membantah. Dia tidak pernah berada di tempat yang temanku itu pernah bertemu. “Mungkin itu saudara kembar gua,” katanya.

Sayangnya semakin kemari aku makin dibuatnya kecewa. Di tengah perjalan pulang, aku melihat Charnia jalan. Baru kali ini aku melihatnya karena biasanya di depan sekolah ada kendaraan umum menuju rumahnya. Aku berpikir untuk menyambanginya. Langkah kaki semakin cepat. Tapi aku mulai ragu lagi. Kembali aku dihantui rasa takut.

Pecundang! Hanya itu yang bisa kukatakan pada diri sendiri. Aku mulai berjalan pelan. Charnia pun menjauh. Sudah cukup di kelas dua aku melihat Charnia sembunyi-sembunyi. Kali ini jangan. Aku mulai yakin dan kembali berjalan cepat. Semakin dekat kini dengan wanita yang aku idamkan. Ternyata Charnia yang menjauh. Dia menepi ke pinggir jalan. Menghampiri kerumunan pria yang sedang merokok.

Bersambung…..

Previous
Next Post »
0 Komentar