Entah kenapa bagaimana kamu bisa menarik perhatian aku. Bagiku tak mudah
untuk memberikan sepenuhnya hati yang kupunya untuk sembarang orang. Tapi Tuhan
berkehendak lain. Mungkin engkau lah yang akhirnya dapat menerima ini, sesuatu
yang tak semua orang dapatkan dariku.
Kulitnya seputih
susu, bibirnya tipis seperti membentuk lambang cinta dengan warna merah muda. Penampilannya
tidak berlebihan seperti anak muda jaman sekarang. Simpel dan elegan. Ramah sama
siapa saja dan bukan tipe pemilih teman. Bisa ditebak dari cara ia bergaul. Yang
paling kusuka dan takkan terlupakan, saat ia tersenyum lepas kepadaku. Padahal,
saat itu kita belum pernah bertemu sebelumnya. Aku pun tak tahu dia sebelumnya.
Kubalas senyumnya dengan senyum terbaikku.
Kukenal ia
saat acara ospek mahasiswa baru di jurusan. Di acara tersebut sekilas tak ada
yang menarik. Acaranya pun membosankan, walaupun aku bertemu dengan adik kelas
baru. Tapi tak ada niat buatku untuk mendekatinya. Bukan karena sudah punya
kekasih hati, juga bukan karena tak suka dengan lawan jenis. Buatku tak mudah
untuk mencintai orang begitu saja, dengan sifatku yang mudah bosan ini.
Setelah melemparkan
senyum kepadanya, aku terdiam beberapa menit. Menikmati indahnya anugrah Tuhan
yang baru saja Ia berikan. Sungguh beda. Momen yang mungkin takkan pernah kuulang.
Kunikmati selagi mampu.
“Woi!! Ngelamun
jorok lu ya?” tiba-tiba Anggun menghancurkan fantasiku.
“Anjrott...gue
lagi enak ni, ganggu aja lu,” sewotku padanya. Kenikmatanku pun hilang setibanya
Anggun memergokiku yang terdiam sendiri.
“kebiasaan
banget dah lu, siang-siang gini ngelamun jorok”
“apaan sih
lu! Sotoy banget, mending lu lompat dari lantai tujuh kalau terus-terusan sotoy
kaya gini,” saranku yang ingin sekali tidak diganggu siapapun.
Akhirnya kami
melanjutkan mengurusi acara khusus anak baru ini, walaupun sebenarnya tidak
ingin mengikuti acara ini. Karena keberadaanku sebenarnya juga tidak begitu
berpengaruh menyukseskan acara ini. Sudah ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Jurusan yang mengurusi acara ini.
Sambil mengurusi
acara, kucari tahu namanya dari teman-temanku. Tak secara langsung kutanya,
karena kalau terang-terangan pasti ledekan satu angkatan pasti kuterima segera.
Salah tindakan saja fatal akibatnya. Kususun strategi hanya untuk mendapatkan
namanya tanpa orang tahu, aku sedang mencari informasi. Kubuat diriku seperti
intel yang sedang mencari teroris.
Kuikuti gerak-geriknya.
Ia selalu ditemani teman wanita. Analisisku langsung bekerja seketika. Mungkin dia
belum punya kekasih. Senyumku melebar menduga itu sebuah kebenaran, walaupun sesungguhnya
itu hanyalah dugaan. Bagaimana bisa menyimpulkan, kalau namanya saja aku belum
tahu, bisikku berbicara sendiri.
Saat pandangan
terfokus padanya, tiba-tiba ketua acara berdiri di hadapanku. Ia celingak-celinguk
seperti orang tersesat. Setelah melihat orang yang dicari, ia teriak. “Lissa!!!”
suaranya melengking menusuk-nusuk telingaku. Begitu sakit rasanya.
Kuakui suaranya
memang terkenal cempreng. Sungguh suara yang aneh, belum pernah kudengar suara
aneh ini sebelumnya. Ingin rasanya menjauh darinya agar tak mendengar suara
yang sumbang itu. Lebih baik kudengar kodok bernyanyi di malam hari.
Niatku
untuk pindah terhenti saat gadis ini menghampiri ke arahku. Jantungku berdegup
begitu cepat. Lantai terasa berguncang mengikuti detak jantungku. Semakin lama ia
menghampiri, semakin cepat denyutnya. Jika aku punya penyakit jantung, pasti
sudah copot jantung ini.
Tapi kenapa
ia ke mari? Kita kan tidak saling kenal. Tanyaku yang semakin lama semakin
jelas melihat sosoknya seperti malaikat yang diciptakan Tuhan untukku. “kenapa
Ian?” jawabnya ke ketua acara. Ternyata ia bukan menghampiriku, ia mendatangi
Ian yang tadi meneriakinya. Tersulut rasa kecewa di hati.
Tapi kecewaku
tenggelam setelah mengetahui nama gadis yang sedang kupuja ini. Namanya Lissa. Tapi
nama lengkapnya siapa? Bisa saja itu cuma nama panggilannya. Analisaku terhadapnya
terus bekerja menebak namanya lengkapnya. Sampai tak terasa acara membosankan
ini berakhir. Aku pun pulang ke rumah hanya dengan mendapat nama “Lissa”.
Usahaku tak
terhenti sampai mendapat nama panggilannya. Kucari namanya lewat jejaring
sosial. Pasti dia berteman dengan temanku yang lain. Satu jam mencari, akhirnya
kutemukan akun gadis sedang berpose di sebuah taman. Taman itu tak akan indah
tanpa Lissa menjadi subjek pemandangan. “Jadi namanya Lissa Oktaniani,”
gumamku.
Bersambung...
0 Komentar