Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 67)

Terjawab sudah penasaranku. Pantas saja aku tidak mengenalnya, dia adalah salah satu murid di pesantren kilat saat bulan puasa lalu. Kebetulan saat itu aku adalah wali kelasnya jadi dia tidak asing melihatku. Kalau aku wajar saja karena santri yang ada di kelas ada puluhan. Dan Dewi bukan orang yang aktif saat itu. Tapi aku sudah minta maaf karena tidak mengingatnya.

Dewi memaklumi. Kali ini perbincangan sudah agak sedikit mengalir. Aku penasaran dengannya karena sudah tiga bulan les, baru kali ini melihatnya. Yah, namanya juga sama-sama tidak ngeh. Ditambah lagi kelas di sini juga banyak, jadi makin asing saja dengan orang sekitar. Dewi melihat pintu keluar saat lampu depan motor semakin lama mendekat ke pintu lobi.

Aku jadi ikut menoleh ke arah luar. Seorang wanita memakai pengaman lengkap. Aku tidak bisa melihat jelas. Dewi segera menyandang tasnya. Dia memeriksa sekeliling tempat duduk jaga-jaga kalau ada yang ketinggalan. Merasa sudah aman dia pamitan, “Aku pulang duluan ya Ka. Mama aku sudah jemput.” Aku mengangguk dan mengucap hati-hati.

Aku lihat Dewi sudah menaiki motor dan perlahan menghilang dari pandangan. Masih ada yang mengganjal di pikiran kenapa ada wanita secantik Dewi luput dari pandangan aku ketika mengajar. Perhatian aku ketika itu selalu teralih oleh anak-anak pria yang selalu buat onar. Kalau saja aku bisa melacak lebih jauh, pasti kan bisa menikmati pesantren kilat dengan senang meski kesulitan menghadapi santri pria.

Pikiranku melayang jauh. Jauh saat pertama kali aku bergabung di kegiatan masjid. Bahkan lebih jauh lagi ketika aku masih berumur 10 tahun dimana pertama kali aku ikut pesantren kilat. Kegiatan ini memang sudah menjadi agenda tahunan setiap bulan Ramadhan tiba. Beberapa kali diadakan, aku hanya sekali ikut menjadi santri.

Pesantren kilat sempat fakum dengan berbagai faktor. Yang paling utama adalah tidak ada remaja yang aktif dalam kegiatan masjid. Kalaupun ada hanya sedikit dan tidak mampu mengadakan kegiatan sebesar pesantren kilat. Mau tidak mau mereka yang ingin masjid tidak sepi hanya bisa mengadakan acara kecil-kecilan.

Aku tidak bisa gabung karena usia yang belum mencukupi. Namanya juga anak-anak, tidak bisa disebut remaja. Jika aku gabung, takutnya ditolak. Ya, meski tidak ada yang bisa menghalangi orang berbuat kebaikan. Tapi prasangka itu membuat aku berat bergabung. Selain itu tidak ada teman seumuran yang ingin nimbrung. Akhirnya aku berbaur bersama teman lain yang pikirannya hanya main.

Setiap organisasi sosial pasti akan datang masa sedang turun. REMATA atau kepanjangan dari Remaja Masjid at Taqwa mengalami surut kegiatan. Terjadi krisis kepemimpinan yang membuat roda tidak bisa berjalan. Sebenarnya ada orang yang layak. Tapi banyak faktor sampai yang menumpuk dan pecah seperti gunung berapi. Masalah ini berakibat REMATA fakum.

Jangka waktu keheningan ini cukup lama. Sampai akhirnya aku beranjak remaja. Di usia menjelang 15 tahun, aku baru masuk SMA. Sesuai dengan status, kali ini aku bisa bergabung dengan REMATA. Tapi kan kegiatannya sedang tidak berjalan. Percuma saja kalau begitu. Aku tetap tidak bisa ikut andil menggerakkan organisasi ini.

Bulan Ramadhan tiba. Suasana di masjid tetap tidak ada kehidupan. Hanya ramai ketika waktu solat tiba. Setelah melaksanakan ibadah, para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing. Ada beberapa orang saja yang melanjutkan solat sunah dan duduk berdiam diri. Ada pula yang membaca al-Quran. Mereka mencoba memanfaatkan betul bulan suci ini.

Sebagaimana orang di usiaku, aku masih belum serius memikirkan akhirat. Yang penting rukun islam dilakukan sudah cukup. Aku merasa apa yang sudah aku lakukan masih lebih baik. Karena banyak teman-teman yang ibadahnya saja masih bolong. Bahkan mereka dengan bangga makan dan minum di siang hari ketika bulan puasa.

Ya, memang kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan.  Karena melakukan kebaikan itu tidak ada ruginya. Juga tidak menyakiti orang lain. Malah membantu dan membahagiakan mereka. Tidak usah buru-buru. Perlahan tapi pasti. Yang penting konsisten. Kalau sudah terbiasa pasti akan terus berkembang dan melakukan lebih baik.

Bulan puasa sudah berjalan tiga hari. Aktivitasku masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Bermain, nonton, sekolah, belajar, makan, tidur. Begitu terus. Hari berikutnya berbeda. Selepas pulang sekolah, mama memberi tahu ada selembar undangan. Aku heran. Sebelumnya tidak pernah ada undangan selain dari sekolah. Itu pun aku yang bawa.

Aku biarkan surat itu tergeletak di meja kamar. Matahari yang terik membuat aku ingin langsung rebahan di kamar dengan kipas angin yang menyala. Merasa sudah segar aku mengambil wudhu untuk solat Zuhur. Kebetulan tadi tidak sempat karena masih perjalanan pulang. Tak lama aku ingat ada surat yang belum tahu isinya apa. 

Selesai berdoa aku duduk di meja belajar sambil membaliknya. Mama menaruhnya dengan keadaan tertutup sehingga aku tidak bisa melihat gambar depannya. Aku lihat logo REMATA tertera di sebelah kiri atas. Di sana tertulis namaku. Aku baca isinya. Ternyata undangan rapat.

Bersambung….
Previous
Next Post »
0 Komentar