Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 68)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Perasaan bangga tumbuh. Ini pertama kalinya aku mendapat undangan rapat. Bukan hal yang luar biasa sih sebenarnya. Tapi entah kenapa aku senang saa. Berarti keberadaanku sudah mulai diperhitungkan. Bahwa aku sudah dewasa. Sudah layak untuk bergabung di satu-satunya organisasi pemuda Islam di tempat dimana aku tinggal. Aku mengulang bacaan undangan menegaskan bahwa ini memang untukku. Kupastikan bahwa ini juga bukan mimpi atau sedang berhayal.

Saking senangnya aku sampai lupa kapan rapat tersebut berlangsung. Aku lihat tanggal pelaksanaannya. Jumat, 29 September 2006 sehabis solat Taraweh di masjid. Berarti besok dong. Dadakan juga undangannya. Tapi aku kan tidak punya kegiatan apapun jadi jangan seperti sok orang sibuk. Mau besok diberikan undangannya pun aku tidak akan punya kegiatan selain bermain ketika sudah sampai di rumah.

Tidak sabar aku menunggu hingga waktu yang ditentukan tiba. Padahal sekarang sudah hari Jumat sore. Tinggal beberapa jam lagi aku akan menghadiri rapat perdana. Aku membayangkan akan mengetahui jalannya diskusi, membuat konsep, memikirkan kegiatan apa yang akan dilakukan, dan banyak hal lainnya. Pikiran sudah terbang melayang ke arah yang tidak jelas.

Karena terlalu memikirkan rapat nanti malam, aku sampai lupa waktu. Tidak terasa adzan magrib sudah berkumandang. Tanda berakhirnya puasa selama seharian. Mama sudah meneriaki dari bawah agar aku segera turun. Sedari tadi aku di kamar saja tidur-tiduran. Di bulan yang suci bukannya melakukan kegiatan yang berguna malah santai-santai. Tapi kan ilernya orang puasa saja merupakan pahala. Begitu berkahnya bulan ini.

Aku keluar kamar dan segera meneguk air. Segar sekali. Puasa hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak terlalu lelah apalagi haus. Jelas saja, aku berangkat dan pulang sekolah dengan sepeda motor. Di sekolah tidak belajar penuh. Kerjaan kami hanya bercanda. Kegiatan olahraga dan panas-panasan juga nihil. Ibadahnya saja yang kurang. Padahal sudah diberikan kesempatan seperti ini.

Sayang memang. Tapi tak apa. Sebentar lagi kan aku akan memiliki kegiatan yang bermanfaat di rumah. Aku berpikir bahwa pasti akan ada pesantren kilat seperti dulu. Kalau waktu itu aku yang diajar, sekarang gantian aku yang mengajar. Memang aku masih belum punya pendidikan agama yang kuat. Tapi untuk mengajar yang dasar seperti membaca al-Quran atau praktek solat aku masih bisa.

Hitung-hitung sembari mengajar, aku juga belajar. Aku membayangkan ada kegiatan selain pesantren kilat. Sayang saja jika hanya ada satu kegiatan. Tapi apa? Aku tidak tahu. Pengalaman seperti ini masih kurang. Tapi aku tidak mau diam saja tanpa berpikir. Pokoknya bulan Ramadhan kali ini harus sangat bermakna.

Adzan Isya membahana. Suaranya bersahut-sahutan dari setiap masjid yang berada dekat rumah kami. Sandi berteriak dari depan rumah, “Jefriiiii!!!” Aku menengok dari dalam ke arah pintu. “Bentar,” kataku yang menggapai gorengan di meja makan lalu mengambil sarung. Aku berpamitan pada orang tua untuk ke masjid.

Sandi adalah teman sejak kecil. Kami main bersama dari mulai ke sawah, mencari layangan, dan semua hal yang dilakukan anak kecil pada umumnya. Yang tidak layak juga banyak. Meski terkadang mengajarkan hal buruk, dia tetap teman kecilku. Yang penting dia tidak melakukan hal yang sangat fatal. Nakal sedikit itu hal yang normal.

Kami menuju masjid. Biasanya di persimpangan jalan sudah ada teman lain yang menunggu. Menantikan kehadiran sang pimimpin mereka. Sumber pembuat onar, yakni Sandi. Di jalan aku bertanya, “Lu dapat undangan dari REMATA?”

“Iya dapat. Setelah solat Taraweh kan?”

Aku mengangguk. Belum sempat aku bertanya dia langsung bilang, “Gua mungkin mau main petasan dulu.”

Dari hari pertama puasa kami memang selalu bermain petasan. Biasanya selepas solat Subuh. Kalau malam pascasolat, lebih tepatnya kami ke kampung sebelah. Di sana ada gubuk yang menjajakan makanan ringan, kopi. Tempat yang sangat cocok untuk makan camilan sambil seruput kopi. Lokasinya berada di antara perumahan kami dan kampung sebelah. Di tempat itu pula Sandi dengan teman yang lain bermain. Merokok dan melakukan hal lainnya.

Penjaga warungnya juga kebetulan masih muda dan cantik. Sepertinya beda beberapa tahun dengan kami. Atau mungkin malah seumuran. Setiap kami ke sana, Sandi pasti menggodanya. Tahu itu hanya candaan, si penjaga membalasnya. Dia lakukan untuk senang-senang saja. Kami pun ikutan tertawa. Namanya juga humor.

“Tapi datang rapat ga?”

“Paling agak malaman.”

Aku ragu dia dan teman yang lain akan datang. Sandi adalah kepala kumpulan kami. Kemana dia pergi, kami selalu mengikutinya. Ada saja kelakuannya yang membuat kami tertawa. Selera lawaknya yang tinggi itu membuat dia selalu dikerumuni. Rumahnya juga tidak pernah sepi menjadi tempat kumpul. Lengkap sudah dia menjadi pemimpin geng.

Lalu bagaimana dengan rapatnya? Apakah aku akan datang memenuhi undangan itu atau ikut dengan Sandi? Aku bingung.

Bersambung…
Previous
Next Post »
0 Komentar