Sumber: Google |
Aku ingin menceritakan sebuah pengalaman yang aku alami beberapa bulan terakhir ini. Aku tak butuh kamu percaya ini atau tidak, tapi ini benar-benar aku alami sendiri. Aku bingung mau menceritakan ke mana, karena mungkin tak satupun orang yang percaya akan ceritaku ini. Begini ceritanya.
Aku tidak tahu mau memulainya darimana, karena aku sendiri tidak tahu asal mula kejadian ini. Tepatnya bulan Agustus 2011 aku mulai menyadari bahwa aku bisa berkomunikasi dengan makluk ciptaan Tuhan lainnya, makhluk yang berada di dimensi lain pula. Makhluk yang tidak bisa dilihat orang kebanyakan orang.
Suatu ketika aku sedang duduk terdiam menikmat bulan di malam hari, sebelumya aku baru pulang dari kegiatan kampus yang tidak begitu padat, tapi aku yang membuatnya padat, agar aku bisa menghilangkan rasa sepi di hati.
Rasa sepi itu memang hilang saat aku bersama Omen dan Tompel, mereka adalah teman sekelasku di jurusan. Aku selalu menghabiskan hari-hariku bersama mereka, aku tak bisa bermain dengan teman sekelasku yang lain, karena mereka punya kesibukan yang lain, ada yang bilang mendung jadi harus pulang, ada yang pacaran, pokoknya ada saja alasan mereka.
Setelah bermain dengan Omen dan Tompel hingga larut, aku pulang ke rumah. Kampusku memang tidak jauh dan tidak dekat, jadi aku tidak perlu jauh dari orang tua untuk ngekos. Kalaupun ngekos, mungkin aku tak sanggup, mungkin karena tak bisa jauh dari orang tua. Ya, bisa dibilang aku anak mama, anak manja, atau apalah kata mereka. Aku tak peduli dengan cap yang mereka berikan.
Setengah jam perjalanan ke rumah begitu lama kalau tengah malam. Jalanan sepi sekali, tak ada kemacetan. Aku tak pernah membayangkan jika keadaan jalan seperti ini di saat jam kantor, atau sekolah. Pasti sangat enak. Akupun tersenyum sendirian membayangkan itu semua.
Hampir muncul dibenak, apakah aku harus melenyapkan angkot-angkot di Jakarta, karena merekalah penyebab utama kemacetan ini berasal. Mungkin dengan membakar pangkalan mobilnya, bisa menjawab itu semua, tapi nanti mereka kehilangan pekerjaan. Kalau begitu bunuh saja mereka semua, jadi kan mereka tidak kehilangan mata pencarian. Tawaku makin keras di jalan.
Sampai rumah biasanya jam sebelas malam paling cepat, mama pasti bertanya ngapain saja di kampus, tapi aku hanya diam dan mengalihkan pembicaraan dengan mengambil nasi. Mamapun lupa dengan pertanyaan itu. Aku paling bingung jika ayah yang bertanya, soalnya aku takut dengan ayah, tapi dengan bicara tak jelas, itu bisa menghentikan pertanyaan ayah.
Setelah mendapat pertanyaan, aku pasti intirahat sebentar, setelah itu solat. Aku tidak mau melupakan kewajibanku sebagai muslim. Solat selesai. Tapi aku bingung harus melakukan apa lagi, terkadang sulit untuk tidur di jam segini. Akupun naik ke atap rumah, berkelai di tembok, memandang awan yang cerah, menatap bulan.
Lima menit di atap begitu menyenangkan bagiku, rasanya bulan mengerti akan rasa sepi di hati ini. Bulan seperti mendengarkan ceritaku dalam hati. Kami layaknya orang yang sedang berbincang. Tanpa sadar aku merasakan seseorang berada di sebelahku. Aku menoleh ke samping. Aku tercengang.
Sesosok wanita cantik berada di sampinku. Rambutnya lurus sebahu, hidungnya standar orang Indonesia, bibirnya tipis merah muda, tidak kurus dan juga tidak gemuk. Ia tersenyum melihat tanah lapang di hadapannya tanpa menoleh kepadaku. Tanpa kutanya, ia sudah menjawab penasaranku. Ia seperti dapat membaca pikiranku.
Ia adalah bulan yang yang tadi kuajak bicara. Aku tak percaya. Tapi, ia menjelaskan semuanya. Ia sebenarnya ingin menampakkan dirinya kepadaku sedari dulu, sejak aku menyukai renungan di atap. Ia memperlihatkan wujud aslinya karena ingin menemani hari-hariku yang sepi. Akupun senang mendengarnya.
Aku juga senang karena orang lain tak dapat melihatnya. Biarlah aku yang menikmati Bulan dalam wujudnya seperti ini. Tak perduli orang berkata apa, yang penting aku bahagia. Bulan selalu ada bersamaku. Saat aku di kampus, saat aku liputan, aku selalu bersamanya.
Tulisan ini pun hasil pikiran aku dan Bulan. Bulan memberikan tambahan cerita disaat aku buntu melanjutkannya. Bulan tak pernah lelah menyemangatiku. Aku berharap Bulan juga ada sampai akhir hayat. Percaya atau tidak inilah tentang aku dan Bulan.
0 Komentar