Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 4)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Jam beker membangunkan tidurku. Ternyata sudah jam 05.30. Rasanya sebentar sekali aku terlelap. Ingin kupejamkan mata sebentar, tapi aku takut terbawa suasana sehingga persiapan untuk berangkat sekolah sedikit karena kesiangan. Kuputuskan untuk duduk di kasur sembari menyegarkan tubuh dengan tetap duduk memutar sedikit bahu ke kiri dan kanan.

Sebelum bersiap diri, aku mengecek HP kalau saja mungkin ada yang mengirim pesan penting. Ada satu pesan diterima. Aku berharap Vini yang mengirimnya. Sekilas pikiran itu buyar karena ia belum tahu nomor teleponku. Berarti itu hanya harapan yang tak mungkin tercapai. Ternyata muncul nama Dimas setelah aku membukanya. 

“Aahh... kebiasaan. Sms cuma mau liat tugas,” aku lempar HP ke kasur dan bergegas ke kamar mandi. Semua persiapan sudah siap. Sebelum berangkat, seperti biasa aku berpamitan kepada kedua orang tua agar semua kegiatan hari ini berjalan dengan lancar. Perjalanan ke sekolah hanya memakan waktu 20 menit kalau tidak macet. Aku tiba di sekolah setengah jam sebelum bel masuk. 

Di kelas sudah gaduh saat aku tiba. Ternyata ada PR yang belum aku kerjakan. Aku lupa karena terlalu bingung untuk memikirkan Vini. Akhirnya aku menyatu dengan teman lain yang belum mengerjakan. Sebenarnya soalnya tidak sulit. Tapi karena sudah terdesak, menyontek adalah pilihan yang tepat.

PR sudah selesai saat bel jam pertama berbunyi. Kami menunggu guru matematika. Pak Simbolon namanya. Ia guru yang cerdas. Aku suka dengannya karena ia bisa membuat matematika menjadi pelajaran yang menyenangkan. Ia pandai membuat kami tertawa dan teman-temanku suka itu.

Tidak biasanya Pak Simbolon telat masuk. “Mungkin ada sesuatu yang penting,” lamunku di antara teman-teman yang riuh menikmati keterlambatan guru.

“Wooiii... bengong aja lu,” tepuk Dimas mengagetkanku. “Gimana kemarin kencan sama Vini?” tanyanya penasaran.

“Ahh.. biasa aja. Gue cuma nganterin sampe rumah, abis itu langsung pulang.”

“Udah gitu aja? Payah banget dah lu. Itu kan kesempatan yang jarang banget. Seenggaknya lu singgah sebentar ke rumahnya. Kalau gue jadi lu, udah gue abisin.”

“Makanan kali diabisin. Ya abis gue bingung mau ngapain. Padahal dia udah ngajakin mampir ke rumahnya, tapi tiba-tiba gue gagu dan keceplosan bilang mau pulang.”

“Hahahahaha... cemen banget lu jadi laki. Baru digituin aja udah gagu.”

“Sama cewe mana aja boleh dah gue godain, tapi nggak buat Vini. Selain emang masih malu sama dia, gue ga mau perlakuin dia sembarangan.”

“Iiihhh... so sweett banget sih kamu..” Dimas menepuk bahuku genit menirukan gaya perempuan. Sebelum Dimas melanjutkan pembicaraan, suasana yang tadinya ramai menjadi agak teratur. Ternyata Pak Simbolon sedang berjalan menuju kelas. “Kita lanjutin perbincangannya ntar yak,” Dimas berlari menuju tempat duduknya.

“Selamat pagi. Maaf saya datang telat karena ada urusan mendadak di ruang guru. Minggu depan akan ada try out. Ini bertujuan agar kalian dapat mempersiapkan ujian nasional yang akan berlangsung tujuh bulan lagi.”

“Lalu persiapannya itu apa pak?” ujar salah satu temanku.

“Try out itu semacam uji coba. Kalian akan mengerjakan soal-soal ujian nasional pada tahun-tahun sebelumnya. Pemain sepak bola itu hebat bukan karena pandai membaca, tapi karena sering berlatih. Oleh karena itu mulai minggu depan kalian akan sering mengerjakan soal-soal ujian.”

Mendengar perkataan seperti itu, aku langsung memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tahun ini akan sangat berat buatku. Waktu bermain akan sedikit aku kurangi dan waktu itu akan kuhabiskan dengan belajar. Meski sebentar lagi lulus dari sekolah, saat ini aku masih belum menentukan pilihan jurusan apa yang akan diambil di universitas. Aku masih fokus dengan persiapan kelulusan agar mendapat hasil yang memuaskan.

“Sekian ceramah dari Ustad Simbolon, sekarang kita mulai pelajaran.” Selalu saja ada sedikit motivasi dan lelucon di antara ucapan guruku itu. Suasana tegang menjadi cair setelah itu. “Kemarin kita sudah membahas tentang integral. Sekarang kita lanjut ke materi selanjutnya, yaitu probabilitas.

Pak Simbolon menjelaskan pengantar tentang materi pelajaran yang baru. Suasana menjadi hening dan terkadang diiringi tawa. Selalu saja ada yang bisa ditertawakan dari penjelasannya. “Contoh soal probabilitas seperti ini. Jika pernyataan A: kendaraan roda dua tidak boleh masuk jalan tol, pernyataan B: becak memiliki tiga roda, maka probalitiasnya adalah becak boleh masuk jalan tol.”

Aku memperhatikan jelas apa yang Pak Simbolon bilang. “Jadi jika orang yang suka senyum dan baik kepada kita itu tanda suka. Vini suka senyum dan baik padaku berarti dia suka sama aku,” Aku tersenyum.

“Aaaahh... tapi itu kan ga mungkin, perasaan orang itu tidak bisa disimpulkan dengan matematika,” sergahku tiba-tiba dan simpul senyumku menurun. Aku termenung lalu melihat HP. Tidak ada pesan masuk. “Apakah aku harus SMS Vini yah?”

Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar