Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 3)



“Hai Vini...” akhirnya kuberanikan diri untuk menyapanya. Dada ini masih terus berdegup cepat.

“Eh Jefri. Udah lama ga ketemu.” Senyum yang ia lempat benar-benar menawan. Aku ingin terus melihat senyumnya. Tapi aku hanya diam tak bisa melanjutkan perbincangan.

Melihat aku yang diam saja ia berkata, “Aku duluan ya. Udah sore nih,”

“Hmm.. eh iya hati-hati ya,” aku terus terpaku melihatnya. Sungguh bodoh melewatkan kesempatan ini. Otak ini rasanya beku tak berfugsi sebagaimana mestinya.

“Viii...ni,” panggilku lirih.

“Iya kenapa?” ia menoleh ke arahku. Senyum itu selalu membuat aku terlihat bodoh di depannya.

“Pulang sendirian? Mau bareng sama aku ga?” akhirnya aku berani untuk mengajaknya pulang. Tak peduli ia menerimanya atau tidak, yang penting aku sudah mencoba untuk mengajaknya. Pandanganku hanya tertuju ke bawah, menunggu jawaban darinya.

“Harusnya sih dijemput sama ayah, tapi karena pulang malem, aku jadi pulang sendirian,” aku masih terus mendengar ucapannya dan menunggu jawaban darinya. Rasanya lama sekali. Ia mengambil nafas sebentar lalu bertanya balik padaku. “Emang ngga ngerepotin kalau kamu nganterin aku?”

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Jawaban apa yang harus aku berikan agar kali ini aku tak terlihat bodoh lagi. “Nggak ko. Kalau aku ngerasa repot, pasti kan nggak nawarin kamu,” kepalaku terasa panas. Setiap tetes aliran darah yang menuju otak sangat terasa sekali. Semoga saja jawaban itu tak membuatku terlihat bodoh.

“Oh yaudah. Terus teman-teman kamu gimana?”

“Mereka masih betah di sini. Aku kan sendirian, jadi mereka kayanya kalau nggak ada aku, nggak masalah. Tunggu sebentar ya,” aku segera menghampiri Dimas dan berbisik padanya. “Gue cabut duluan ya. Mau nganterin Vini,”

“Asik dah,” ucapnya sambil menepuk bahuku. “Selamat berjuang. Jangan lupa minta nomor teleponnya biar lu bisa komunikasi sama dia,”

“Siap!”

Aku kembali menghampiri Vini dengan motor kesayangannku. “Ayo naik,” tanpa ragu ia duduk di belakangku. Aku dibuat terkejut saat ia menggenggam bajuku di sekitar pinggang. Mungkin ia takut terjatuh. Jika memang begitu, aku harus membuatnya nyaman. Merasa sudah siap, aku segera melaju ke rumahnya.

“Rumah kamu belum pindah kan?”

“iya, masih di tempat yang dulu,”

Dulu setelah pulang sekolah, aku selalu pulang bersamanya. Bersama dengan arti aku bersama temanku, ia bersama temannya. Itu karena perjalanku mencari angkot, harus melewati rumahnya. Jadi setiap hari aku selalu melewati rumahnya.

Karena rumahnya dekat dengan sekolah, aku sudah tiba di depan rumahnya kurang dari 10 menit. Masih kurang rasanya bersama ia. Aku masih ingin pergi jalan-jalan menikmati macetnya jalan di jam pulang sekolah. Pasti seru kalau bersamanya.

“Aku turun di sini ya. Kamu mau mampir ga?”

“ngg...ga deh,” aduh tindakan bodohku terulang lagi. Kenapa aku harus menolak untuk singgah sebentar ke rumahnya. “Aku ada PR, jadi nanti aja kalau lagi ada waktu luang,” lanjutku agar suatu hari ia mau menawarkan hal yang serupa kembali padaku. Semoga saja.

“Ya udah kalau gitu,” ia masih tetap berdiri menungguku pergi pulang dan hilang dari pandangannya. Melihatnya seperti itu, aku langsung berbalik arah untuk pulang.

“Aduh...... kan belum minta nomor teleponnya,” ucapku dalam hati. Setelah membalikkan motor, aku berhenti kembali.

“Ada apa?”

“Aku minta nomor telepon kamu boleh ga?” dadaku kembali berdetak cepat. Pandanganku pun melihat tanah lagi. Kembali menunggu jawabannya.

“Oh boleh ko,”

“Alhamdulillah,” ucapku dalam hati. Aku segera memberikan telepon genggam padanya agar ia menyimpannya di sama.

“Ini sudah,”

“Makasih ya. Nanti aku SMS kamu deh. Aku pulang ya. Assalamuallaikum,”

“Wallaikumsalam,” balasan salam darinya sungguh membuat hati teduh. 

Di rumah setelah mengerjakan PR dari sekolah, aku kembali bimbang. Apakah aku harus kirim SMS sekarang ya? Tapi takut kalau dia lagi belajar. Banyak sekali alasan yang membuatku ragu untuk memberitahukan nomorku pada Vini. Akhirnya aku putuskan untuk menunda niat tadi.

“Dasar bodoh! Pecundang!” aku hanya bisa mengutuki diri sendiri. Lelah dengan dengan kata serapah untukku sendiri, aku tertidur lelap.

Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar