Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 5)



Akhirnya istirahat pun tiba. Pegal juga dengar ceramah guru dan hanya duduk selama tiga jam. Kelas menjadi gaduh saat guru tak ada. Ada yang bergegas ke kantin untuk segera makan. Dimas dan temanku yang lain masih sibuk menyelesaikan PR mata pelajaran yang lain. “Dasar malas itu anak,” ucapku yang belum berbegas dari tempat duduk dan hanya melengangkan otot badan. Aku tidak segera ke kantin karena tahu pasti di sana ramai sekali. Lebih baik aku ke sana menjelang waktu istirahat selesai. Sungguh tak nyaman kalau makan dengan suasana gaduh.

“Jef, ke kantin yuk. PR gue udah selesai. Mulut asem bener belum ngerokok.”

“Ayuk. Gue juga tiba-tiba laper. Pasti sekarang kantin udah agak sepi.”

Aku hanya berdua saja ke kantin dengan Dimas. Teman-teman yang lain kalau diajak ke kantin menjelang jam belajar tidak ada yang mau. Mereka takut. Terkadang suka ada guru yang mengecek ke kantin karena suka mendapat laporan kalau anak murid masih ada yang belum masuk kelas saat jam istirahat selesai.

Orang yang mengadu seperti itu pasti ingin cari muka dengan guru-guru agar bisa mendapat nilai yang bagus. Orang seperti itu memang penjilat yang menggapai keinginan dengan cara mudah. Di sekolahku ada beberapa siswa yang terduga seperti itu, karena aku sendiri pernah melihat salah satu dari orang tersebut mengadu ke guru piket saat aku sedang membawa buku ke ruang guru. Untung saja yang aku lihat wanita, kalau saja laki-laki pasti sudah dipukul teman-temanku karena tidak senang dengan perlakuannya.

Saat menuju kantin, tiba-tiba Dimas memberikan kode padaku untuk melihat ke arah yang dia inginkan. Dia seperti melakukan hal yang tidak biasa. Ternyata Mega Anggraini orang yang membuat Dimas seperti ini. “Darimana Mega?” tanya Dimas basa-basi.

“Abis makan. Sekarang mau ke kelas soalnya jam istirahat mau selesai.” Kami berhenti sejenak berbincang. Aku hanya diam saja melihat Dimas dan Mega. Tidak ada keinginanku untuk masuk di antara obrolan mereka.

“Ko tumben sendirian aja? Biasanya sama teman-teman.”

“Iya, soalnya laper banget dan teman yang lain pada nggak mau ke kantin soalnya pada belum ngerjain tugas Pak Simbolon. Tahun terakhir di sekolah kayanya banyak banget tugas. Belum lagi ada pendalaman materi setelah sekolah. Benar-benar diforsir untuk belajar.”

“Iya emang udah jadi kewajiban kita untuk belajar. Namanya juga pelajar. Kalau bekerja tugasnya pekerja.”

Tiba-tiba aku merasakan pembicaraan sudah mulai garing karena omongan Dimas. Aku segera memotong pembicaraan. “Mas, ayo kita makan. Jam istirahat udah mau kelar. Ntar gue mati kelaparan.”

“Oh iya hampir lupa kalau kita mau makan. Mega sudah dulu ya. Kalau ketemu lagi, kita lanjut obrolan kita.”

Sampai di kantin aku memesan makanan sama Bude yang menjual nasi rames. Dimas tidak memesan makanan tapi hanya minum. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan meminjam korek api pada penjaga kantin. Sambil menyantap makanan Dimas memulai perbincangan. “Mega itu manis banget yah. Dia sudah punya pacar belum sih? Kalo gue liat sih kayanya belum soalnya dia kalau ke mana-mana suka sama teman yang cewe. Kalaupun ngga sama teman cewe, dia sendirian.”

“Entah lah.” Aku hanya jawab seadanya karena sedang fokus menyantap nasi rames buatan Bude. Makannya sungguh nikmat dan aku kalau sedang makan tidak suka sambil berbicara karena orang tuaku yang mengajarkan seperti itu,

Dimas tidak peduli dengan jawaban singkat. Sambil menghisap rokok yang dia pegang dan meresapi setiap asap yang masuk menuju paru-paru, ia melanjutkan pembicaraan, “Lu bantu gue cari tau dong. Gimana sih!”

“Aduh gue nggak berminat sama yang begituan. Kalau lu emang suka, usaha sendiri dong. Kalau kelamaan, ditikung orang lain mau?”

“Iya juga sih. Oke lah ntar gue cari tau. Oh iya nanti abis sekolah kita ngeband yuk. Udah gatel nih tangan pengen megang gitar.”

“Lu kaya nggak punya gitar aja di rumah pake bilang gatel segala. Lu kaga inget kalau sekarang kita udah mulai pendalaman materi? Lagian abis itu gue ada bimbingan belajar. Sekarang kan udah kelas tiga, jadi harus banyak belajar.”

“Ya ilah belajar mulu lu. Presiden kan udah ada, ngapain sibuk-sibuk belajar. Hidup itu ga usah serius-serius amat. Nikmatin aja.”

“Omongan lu itu kata-kata calon orang gagal. Pantes aja negeri ini berantakan, kebanyakan berpikiran kaya elu sih. Kalau nggak jangan hari ini dah. Gue beneran ngga bisa.”

Tiba-tiba ada teriakan seseorang yang sepertinya aku kenal. “Jaffry..... Dimas...... kanapa kalian masih di kantin? Jam istirahat kan sudah selesai setengah jam yang lalu!” suara itu ternyata milik Pak Simbolon.

Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar