“Macem ganteng aja
lu. Kalau emang bisa, hantem dah. Tapi gua ga bakal kenalin lu sama
dia.” aku menantang Rapsan
“Gua juga tahu lu
ga bakal berani ngobrol sama dia. Kan lu pecundang.”
“Yang penting kan
teman-teman ngga tahu kalau gua takut sama cewe yang gua suka.”
Perbincangan kami
habis membahas siapa yang lebih pecundang dan Vini. Seperti biasa aku
hanya mengantar Rapsan sampai perempatan lampu merah. Setelah turun,
dia melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan umum. Di situ
jalan menuju rumah kami berbeda. Rapsan belok ke kiri aku lurus
terus. Hanya beberapa kali saja aku mengantarnya sampai rumah. Tapi
itu sangat jarang.
Setelah menurunkan
Rapsan, pikiranku melayang mengingat teman-temanku di kelas. Kalau
dipikir-pikir, kami semua memang tidak berani sama perempuan yang
disuka. Michael pun sama sepertiku dan Rapsan.
Kami memang suka
membicarakan wanita-wanita yang ada di sekolah. Michael pernah curhat
ke Danu mengenai wanita yang disuka. Di salah satu perbincangan, Danu
keceplosan mengatakan wanita itu. Entah itu keceplosan atau sengaja,
kami memang seperti itu. Tidak ada yang bisa menjaga rahasia mengenai
perempuan apalagi rahasia teman yang lain. Beberapa kali Danu suka
membocorkan rahasia salah satu kami di beberapa pertemuan.
Tingkah Michael laku
Michael jadi aneh saat berpapasan dengan wanita itu. Dia seperti
orang autis. Diajak bicara tidak nyambung. Setelah wanita itu pergi,
dia jadi biasa lagi. Kami selalu menertawakan dia.
Beda halnya dengan
Danu. Dia secara terang-terangan mengatakan wanita yang disuka pada
kami. Bedanya dia sedikit lebih berani dari kami. Wanita itu pulang
jalan kaki ke tempat angkutan umum menunggu anak sekolah. Dari
sekolah kami hingga angkutan umum memang tidak terlalu jauh. Danu
yang sudah membuntuti si gadis pulang berencana ingin
mengantarkannya.
“Nih lu liat gua.
Gua ga pecundang kaya lu semua,” katanya sambil menghisap sebatang
rokok. Dia memang suka banyak bergaya. Kami yang baru mengenal dia
terdiam dengan ulahnya itu. Yang hanya bisa kami lakukan hanya
terpukau dengan kata-katanya, seolah-olah dia memang bukan pecundang.
Pulang sekolah kami
bersiap-siap. Seperti biasa aku dengan Rapsan satu mototr. Danu dan
Michael bawa motor sendiri. Mereka tidak boncengan karena Danu akan
mengajak wanita yang dia suka pulang. Bel pulang bunyi kami tidak
langsung pulang. Semua menunggu aba-aba Danu.
“Kok ga langsung
berangkat?” Tanya Rapsan.
“Jangan banyak
cing-cong. Gua kan udah mengamati dia pulang. Beberapa menit lagi
baru kita jalan,” jago banget Danu ini. Sampai tahu detik-detik
yang tepat untuk mengajak wanita ini.
Kami akhirnya
menurut. Waktu yang ditunggu datang. Danu memberi tanda agar kami
siap-siap. Aku pun penasaran dengan wanita yang Danu suka. Hanya
Rapsan yang tahu karena pernah ditunjukkan saat jam istirahat.
“Itu cewenya.”
Rapsan memberitahuku. “Udah mau naik angkot tuh.” tambahnya.
Mataku tertuju pada
wanita itu. Sebelum dia naik angkot, Danu langsung menarik gas lebih
dalam. Hingga akhirnya Danu melewati wanita itu dia berlalu. Si
wanita pun sudah naik angkot. Danu tak kunjung terlihat.
Aku dan Michael
mengejarnya. “Kok ngga berhenti? Katanya mau anter dia?” Michael
yang tiba duluan mengejar Danu penasaran.
“Dia sudah mau
naik angkot. Kasian supirnya sudah nunggu lama-lama tapi ga jadi
naik,” kelit Danu.
“Kan tadi banyak
juga yang mau naik.” Rapsan membalas.
“Alaaahh
kebanyakan cing-cong lu. Bilang saja lu ngga berani. Lu pecundang
juga kaya kita.” Aku menimpal
“Enak saja gua
disamain sama kalian. Gua itu berani.”
“Ngga usah ngelak.
Bukti sudah di depan mata. Lu ngga bisa mengelak. Lu itu
pecunn...dang.” aku balas. Sejak saat itu kami tidak pernah percaya
dengan gaya Danu yang sok keren terhadap wanita. Kami anggap itu cuma
tengil-tengilan saja.
Beberapa bulan
setelah itu akhirnya Rapsan berani untuk mendekat Citra. Rapsan
mengajak Danu untuk menemaninya ke rumah Citra agar tidak canggung.
Dengan gayanya yang sok keren dan seperti orang tua, Danu menceramahi
Rapsan.
“Kalau lagi sama
cewe yang disuka, lu harus banyak bicara buat mecahin hening. Apa
saja yang lu liat, tanya saja,” sarannya. Danu mengangguk iya.
Mereka duduk di
bangku depan rumahnya menunggu Citra keluar. Citra keluar dengan
celana pendek berwarna merah muda dan jaket. Angin malam sedang
kencang-kencangnya bulan itu. Terkadang hujan juga. Rambutnya lepek
dibiarkan terurai karena baru selesai mandi.
Basa-basi dimulai
hingga akhirnya Danu menyenggol Rapsan memberi tanda agar mengawal
pembicaran kembali. Tapi Rapsan diam. Dia tidak tahu harus memulai
pembicaraan seperti apa. Akhirnya Danu tidak sabar dan bertanya.
“Citra rumah lu
banyak tanaman yah. Ini pot untuk apa?” raut wajah Rapsan berubah
menjadi kusut. Citra juga ikut tak tahu meski jawab apa.
Bersambung...........
0 Komentar