Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 18)




“Macem ganteng aja lu. Kalau emang bisa, hantem dah. Tapi gua ga bakal kenalin lu sama dia.” aku menantang Rapsan



“Gua juga tahu lu ga bakal berani ngobrol sama dia. Kan lu pecundang.”



“Yang penting kan teman-teman ngga tahu kalau gua takut sama cewe yang gua suka.”



Perbincangan kami habis membahas siapa yang lebih pecundang dan Vini. Seperti biasa aku hanya mengantar Rapsan sampai perempatan lampu merah. Setelah turun, dia melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan umum. Di situ jalan menuju rumah kami berbeda. Rapsan belok ke kiri aku lurus terus. Hanya beberapa kali saja aku mengantarnya sampai rumah. Tapi itu sangat jarang.



Setelah menurunkan Rapsan, pikiranku melayang mengingat teman-temanku di kelas. Kalau dipikir-pikir, kami semua memang tidak berani sama perempuan yang disuka. Michael pun sama sepertiku dan Rapsan.



Kami memang suka membicarakan wanita-wanita yang ada di sekolah. Michael pernah curhat ke Danu mengenai wanita yang disuka. Di salah satu perbincangan, Danu keceplosan mengatakan wanita itu. Entah itu keceplosan atau sengaja, kami memang seperti itu. Tidak ada yang bisa menjaga rahasia mengenai perempuan apalagi rahasia teman yang lain. Beberapa kali Danu suka membocorkan rahasia salah satu kami di beberapa pertemuan.



Tingkah Michael laku Michael jadi aneh saat berpapasan dengan wanita itu. Dia seperti orang autis. Diajak bicara tidak nyambung. Setelah wanita itu pergi, dia jadi biasa lagi. Kami selalu menertawakan dia.



Beda halnya dengan Danu. Dia secara terang-terangan mengatakan wanita yang disuka pada kami. Bedanya dia sedikit lebih berani dari kami. Wanita itu pulang jalan kaki ke tempat angkutan umum menunggu anak sekolah. Dari sekolah kami hingga angkutan umum memang tidak terlalu jauh. Danu yang sudah membuntuti si gadis pulang berencana ingin mengantarkannya.



“Nih lu liat gua. Gua ga pecundang kaya lu semua,” katanya sambil menghisap sebatang rokok. Dia memang suka banyak bergaya. Kami yang baru mengenal dia terdiam dengan ulahnya itu. Yang hanya bisa kami lakukan hanya terpukau dengan kata-katanya, seolah-olah dia memang bukan pecundang.



Pulang sekolah kami bersiap-siap. Seperti biasa aku dengan Rapsan satu mototr. Danu dan Michael bawa motor sendiri. Mereka tidak boncengan karena Danu akan mengajak wanita yang dia suka pulang. Bel pulang bunyi kami tidak langsung pulang. Semua menunggu aba-aba Danu.



“Kok ga langsung berangkat?” Tanya Rapsan.



“Jangan banyak cing-cong. Gua kan udah mengamati dia pulang. Beberapa menit lagi baru kita jalan,” jago banget Danu ini. Sampai tahu detik-detik yang tepat untuk mengajak wanita ini.



Kami akhirnya menurut. Waktu yang ditunggu datang. Danu memberi tanda agar kami siap-siap. Aku pun penasaran dengan wanita yang Danu suka. Hanya Rapsan yang tahu karena pernah ditunjukkan saat jam istirahat.



“Itu cewenya.” Rapsan memberitahuku. “Udah mau naik angkot tuh.” tambahnya.



Mataku tertuju pada wanita itu. Sebelum dia naik angkot, Danu langsung menarik gas lebih dalam. Hingga akhirnya Danu melewati wanita itu dia berlalu. Si wanita pun sudah naik angkot. Danu tak kunjung terlihat.



Aku dan Michael mengejarnya. “Kok ngga berhenti? Katanya mau anter dia?” Michael yang tiba duluan mengejar Danu penasaran.



“Dia sudah mau naik angkot. Kasian supirnya sudah nunggu lama-lama tapi ga jadi naik,” kelit Danu.



“Kan tadi banyak juga yang mau naik.” Rapsan membalas.



“Alaaahh kebanyakan cing-cong lu. Bilang saja lu ngga berani. Lu pecundang juga kaya kita.” Aku menimpal



“Enak saja gua disamain sama kalian. Gua itu berani.”



“Ngga usah ngelak. Bukti sudah di depan mata. Lu ngga bisa mengelak. Lu itu pecunn...dang.” aku balas. Sejak saat itu kami tidak pernah percaya dengan gaya Danu yang sok keren terhadap wanita. Kami anggap itu cuma tengil-tengilan saja.



Beberapa bulan setelah itu akhirnya Rapsan berani untuk mendekat Citra. Rapsan mengajak Danu untuk menemaninya ke rumah Citra agar tidak canggung. Dengan gayanya yang sok keren dan seperti orang tua, Danu menceramahi Rapsan.



“Kalau lagi sama cewe yang disuka, lu harus banyak bicara buat mecahin hening. Apa saja yang lu liat, tanya saja,” sarannya. Danu mengangguk iya.



Mereka duduk di bangku depan rumahnya menunggu Citra keluar. Citra keluar dengan celana pendek berwarna merah muda dan jaket. Angin malam sedang kencang-kencangnya bulan itu. Terkadang hujan juga. Rambutnya lepek dibiarkan terurai karena baru selesai mandi.



Basa-basi dimulai hingga akhirnya Danu menyenggol Rapsan memberi tanda agar mengawal pembicaran kembali. Tapi Rapsan diam. Dia tidak tahu harus memulai pembicaraan seperti apa. Akhirnya Danu tidak sabar dan bertanya.



“Citra rumah lu banyak tanaman yah. Ini pot untuk apa?” raut wajah Rapsan berubah menjadi kusut. Citra juga ikut tak tahu meski jawab apa.



Bersambung...........




Previous
Next Post »
0 Komentar