Bacaan sebelumnya klik di sini
Rapsan memecahkan genteng yang sudah lapuk. "Waaahhh. Lu kalau mabuk jangan rusuh dong!" Asep langsung menegur.
Rapsan memecahkan genteng yang sudah lapuk. "Waaahhh. Lu kalau mabuk jangan rusuh dong!" Asep langsung menegur.
"Yah namanya juga ngga sengaja. Gua juga nginjeknya
hati-hati kok. Memang gentengnya saja yang sudah lemah," kilah Rapsan.
"Terus mau diapain nih?" tanyaku sambil meminta
buah yang diambil Asep. Buahnya lumayan manis. Riski langsung turun ke bawah
rumah. Kami menakut-nakuti Rapsan. Dia masih saja terus berkilah. Untuk hal
seperti ini kami memang paling senang.
Beberapa menit kemudian Riski muncul dengan membawa
lakban hitam. Genteng yang patah itu lalu ditambal. Kami semua hanya bisa
melihat. Acara senang-senang pun berakhir dengan genteng pecah.
Mulai dari situ kedekatanku dengan Asep mulai terbangun.
Aku yang awalnya duduk sendiri di belakang kini berdua dengannya. Dia pindah karena
tidak betah duduk tepat di depan guru. Hal yang membuatnya tidak suka adalah
diam mendengarkan penejelasan. Selain itu dia juga suka memerhatikan teman yang
sedang fokus mendengar guru.
Terkadang Asep suka ketawa sendiri melihat reaksi teman
di kelas yang bisa dikatakan di luar kendali. Contohnya saja dia suka tertawa
ketika melihat Dimas yang suka mangap ketika mendengar penjelasan guru.
Ada lagi Rapsan yang terkadang di luar kendali dia
berlagak seperti perempuan. Ketika fokus, dia duduk dengan dadanya yang membusung
ke depan dan tangannya bertopang di dagu. Aku juga larut terbawa suasana dengan
Asep menertawai kelakuan yang lain. Ternyata memang terkadang manusia suka
melakukan perbuatan di luar sadar. Itu yang kupelajari di pelajaran
psikologi.
Asep merupakan orang yang bisa membuat suasana kelas
menjadi ramai. Ada saja tingkah lakunya terhadap guru yang membuat teman
seluruh kelas tertawa. Kalau tidak ada dirinya, kelas sepi sekali. Tidak ada
yang berisik melakukan hal aneh.
Suatu hari dia ijin sakit karena habis dipukuli orang
dekat rumahnya. Suasana kelas sangat tenang apalagi ketika mengerjakan tugas
dari guru. Tiga hari kemudian Asep masuk lagi. Suasana kelas seketika gaduk
melihat matanya hitam. Dia tidak memedulikan suara riuh dan berjalan santai. Gaya
sok kerennya itu sungguh membuatku kesal. Kesal ingin meledeknya.
“Matalu kenapa?” tanyaku yang tertawa makin keras. Dari dekat
wajahnya makin jelek. Dia menceritakan semuanya. Di akhir pekan saat dia kumpul
dengan teman lainnya di studio dekat rumahnya, ada seseorang yang meminta uang.
Asep sudah berkata dengan baik hanya punya uang Rp 1.000. Entah kesal dikasih
kurang banyak, dia langsung memukul tepat di mata Asep.
Kegaduhan terjadi. Pemalak itu ternyata sedang mabuk. Hampir
saja dia dihajar massa. Asep tidak sempat membalas bogem mentah dari orang itu
karena terlanjur pusing. Saat sadar, orang itu sudah pergi. Asep menceritakan
ini dengan seru. Suasana kelas menjadi ramai dengan kehadirannya.
Meski nakal dia bukan anak yang begitu bodoh. Kedua orang
tuanya adalah guru di sebuah SMA Negeri Jakarta. Beberapa guru juga sempat
menyindirnya kenapa anak guru bisa senakal dia. Ada pula guru yang memaklumi
kenakalan itu karena anak seumuran kami sedang proses menuju kedewasaan.
Asep juga aktif bertanya pada guru. Ya walaupun terkadang
pertanyaannya agak ngaco dan aneh bagi kami tapi tetap diladeni guru dengan
jawaban serius. Jawaban itu menambah pengetahuan kami. Akan tetapi ada pula
yang menjawab dengan sembarang yang malah membuat Asep dijadikan bahan
tertawaan.
Dan setelah kejadian mabuk bersama itu memang aku jadi
jarang nge-band. Entah itu karena memang fokus belajar di kelas dua atau sudah
tidak bersemangat lagi bermusik. Seakan-akan impian kami sudah lenyap begitu
saja. Bagaimana mau menjadi band yang besar kalau masalah kecil seperti ini
saja tidak bisa ditangani?
Rapsan juga sudah memiliki band baru. Band yang
sebenarnya diajak oleh teman satu kawasan di rumahnya. Bisa dikatakan Rapsan
bergabung dengan band yang sudah terbentuk oleh temannya yang satu sekolah. Iseng
kutanya, teman rumahnya ini ternyata satu sekolah sama Vini. Aku tidak begitu
kenal baik dengan teman band ini tapi hanya mendengar beberapa cerita saja dari
Rapsan.
Band itu sudah memiliki nama dengan sebutan Cancel. Aku
tidak begitu mau tanya lebih dalam kenapa namanya itu. Yang kutahu, Rapsan
adalah tipe pria yang suka membuat sesuatu dengan nama bahasa Inggris. Band
kami dulu pun seperti itu.
Tiba pada suatu hari Rapsan datang ke sekolah dengan
senyum-senyum. Tidak biasanya dia seperti ini. Dia masuk sambil menggantungkan
earphone di telinganya. Sambil mengangguk-angguk dia duduk. "Kenapa
lu?" tanyaku. "Gua abis rekaman lagu baru."
Bersambung....
0 Komentar