Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 28)

Bacaan sebelumnya klik di sini


“Coba gua dengerin,” aku penasaran dengan lagunya. Musiknya kurang begitu jernih. Mungkin karena menggunakan alat seadanya terdengar seperti ini. Jadi seperti musik-musik punk indie. Selain itu suara penyanyi kurang begitu jelas. Hanya melodi, bass, dan drum yang saja yang terdengar. Tapi aku apresiasi apa yang telah dia lakukan.

Untung saja Rapsan tidak meminta pendapatku mengenai lagunya ini. Kalau saja memang diminta, bingung aku harus menjawabnya apakah harus jujur atau berbohong. Selama seharian dia tak pernah lepas dari earphone-nya. Aku memaklumi karena begitu senang.

Satu bulan sudah kegiatanku biasa-biasa saja. Hanya sekolah, nongkrong, main PS, ke rumah teman. Itu saja yang kulakukan sehari-hari. Sungguh membosankan. Tidak ada mainan baru yang membuatku bersemangat untuk hidup. Rasanya hidup cuma seperti ini saja. Kalau begini terus bisa mati dengan keadaan menyedihkan!

Entah alasan apa Rapsan kembali mengajakku untuk bermain musik. “Tapi personilnya bocah kelas saja,” katanya. Aku juga tidak keberatan. Bagiku nge-band sudah hilang dalam angan-angan yang tidak seperti dulu.

“Terus mau siapa saja,” tanyaku.

“Asep katanya bisa main bass. Ajak saja.” Sudah tiga orang terkumpul. Asep tidak keberatan kalau hari ini harus nge-band. Terus satu orang lagi siapa? Kan tidak mungkin sewa studio dengan tanpa pemain drum. Kami bukan main akustikan. Kalau tanpa drummer, lebih baik main di rumah Rapsan. Bisa teriak-teriakan tanpa ada orang yang komentar.

“Ihsan bisa main drum. Dia juga sempat manggung kan waktu kita kelas 1,” Asep memberikan saran. Aku tidak tahu kalau Ihsan bisa bermain musik juga. Aku kurang dekat dengannya. Mungkin karena tampangnya menurutku begitu sok jadi kurang asik diajak ngobrol. Aku yang tidak pernah main bareng dengannya membuatku hanya menilai penampilan luarnya saja.

Tapi memang aku lihat gaya selera humornya berbeda denganku. Dia anak gaul dan jauh berbeda denganku yang tidak tahu apa-apa. Selain itu juga lebih sering kumpul dengan teman kelas lain dan jagoan-jagoan kampus.

Aku lupa mengenalkan dia. Nama lengkapnya Ihsan Saputra. Dia duduk di depan dengan teman ketika kelas satu. Dan ternyata mereka berdua itu satu sekolah denganku sewaktu SMP. Berarti dia mengenal Vini juga. Wajar saja aku kurang tahu. Sekolahku menerima 500 siswa dalam angkatan.

Selain banyak, siswa di sana lebih kumpul pada satu ikatan. Yang lebih sering adalah kumpul teman satu komplek. Kebetulan Ihsan berada pada komplek yang banyak sekolah di sini. Lebih dari 100 orang berasal dari perumahannya. Makanya aku dengan dia kurang begitu kenal dulu.

Walaupun tampangnya yang sok, beberapa teman kelas menganggap dia ganteng. Aku tidak tahu di mana letak kegantengan itu. Setiap aku melihat setiap jengkal rupanya, aku menyerah mencari pernyataan dari beberapa teman wanita di kelas.

Bukan karena iri atau tidak suka. Aku adalah orang yang cukup objektif menilai orang. Jika dia ganteng atau cantik pasti aku akan mengakuinya. Meskipun tidak mengakui langsung di depan orangnya, tapi aku tetap nurut. Tapi biarlah orang menilainya seperti itu. Selera orang itu kan berbeda. Tapi aku tidak mencapnya ganteng. Tampang seperti pria standar umumnya.

Pulang sekolah kami seperti biasa kumpul dulu di warung dekat sekolah. Para pria memang selalu suka kumpul di sini. Ya beberapa siswa saja sih yang tidak suka langsung pulang ke rumah. Ihsan adalah orang yang suka ke sini. Asep pun sama. Mereka bisa berbincang dengan teman-teman lintas kelas.

"Kita beli rokok dulu habis itu baru berangkat. Mau nge-bang di mana?" tanya Asep.

"Yang deket sekolah saja. Kebetulan jarang ada yang main. Biar kita ga nunggu kelamaan juga," Rapsan memberikan saran. Kami sepakat. ‎

Tibalah kami pada studio band. Tempat yang biasa dulu Blink Reborn latihan. Sudah lama juga tidak menginjak tempat ini. Sekarang aku ke sini lagi dengan orang yang baru. Karena kami berempat, jadi tidak ada penyanyi murni.

Masing-masing sudah memegang alat musiknya. "Mau main apa nih?" tanya Rapsan. Aku hanya diam karena bingung. Masing-masing belum mengetahui selera musiknya. Tidak ada yang memberi jawaban. Ruang gelap dan dingin menjadi sunyi. Suara angin AC pun terdengar saking sepi.

Bersambung....
Previous
Next Post »
0 Komentar