Maaf Sudah Menilai Kalian Salah

Aku adalah tipe orang yang tidak mudah menilai orang hanya dengan pertama kali kenal. Biasanya dua sampai tiga kali bertemu, aku baru bisa menyimpulkan apakah orang ini layak untuk ditemani atau tidak. Bisa terus dijadikan teman akrab atau sekadar kenal. Hanya ingin kenal atau sama sekali tidak  ingin tahu.

Pengalaman ini bermula sekitar enam tahun lalu saat aku bermain futsal antara teman sekolah dengan teman rumah. Aku yang menjadi perantara ikut di tim sekolah karena tahu mereka yang bermain lebih bagus. Kebetulan orangnya juga kurang. Biasanya kalau tanding seperti ini ada hadiahnya. Dan pemenang dari duel ini tidak usah bayar karena ditanggung oleh tim yang kalah.


Ilustrasi bermain futsal. Sengaja tidak menampilkan sedang bermain futsal karena ini foto lama banget. diposting di facebook teman bulan Juli 2010 setelah cari foto bermain futsal di media sosial.

Seperti yang sudah diprediksi, tim kami yang menang. Sambil santai-santai, salah satu teman di rumah menyambangiku. Aku tidak terlalu akrab dengannya. Paling dulu ketika kecil kami sering bermain sepak bola bersama. Sekadar bermain bola saja. Untuk main yang lain kami tidak pernah. Jadi kami paling kenal nama dan wajah saja tapi jarang bertemu.

Rupanya dia penasaran bermain lagi dengan tim sekolah. Dia menantang ulang dengan tim futsal yang dia punya. Kali ini tetap tim yang kalah harus membayar lapangan. Setelah bertanya dengan teman yang lain, mereka pada setuju. Ditentukanlah waktu untuk pertandingan balas dendam.

Aku menduga dia akan mengajak teman sekolahnya, dan beberapa orang rumah yang jago juga. Saat masih sekolah dulu, dia bergabung tim futsal di sekolahnya. Tim futsal sekolah kami pernah bertanding dengannya ketika pertandingan antarsekolah di semi final. Sekolah kami kalah. Kalah karena menurutku pelatih tidak begitu pandai memilih pemain. Jika saja orang-orangnya kebanyakan dari kelasku, mungkin masih ada peluang untuk menang.

Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi memang seperti itu keadaannya. Setiap kali ada perlombaan futsal antarkelas di sekolah, tim futsal kelas kami selalu menjadi juara. Tidak ada yang bisa mengalahkan kami karena memang mereka jago. Kalau aku hanya sisaan yang ada sebagai pemain penghibur.

Di hari yang ditentukan aku ternyata tidak bisa ikut bertanding karena ada acara kampus yang harus dihadiri oleh mahasiswa baru. Mereka menamainya taaruf. Oh iya aku belum memberi tahu kalau saat itu aku baru jadi mahasiswa. Namanya juga junior, acara seperti ini harus dihadiri. Mereka bahkan sampai menakuti kami tidak akan dapat sertifikat kalau tidak ikut. Kalau bohong itu kan tidak boleh tanggung. Mereka bilang sertifikat ini akan digunakan ketika akan membuat skripsi. Padahal itu hanya siasat agar banyak yang ikut.

Kembali ke janji duel, teman sekolah menerorku bagaimana pertandingannya. Mereka semua sudah ada di lapangan. Sedangkan lawannya tidak ada. Karena waktu itu aku sibuk banget, aku bilang saja, “Tunggu dulu. Gua hubungi teman gua dulu.”

Hingga waktu yang penyewaan lapangan habis, lawan tidak ada. Temanku yang mengajak tanding itu juga tidak ada kabarnya. Akhirnya teman sekolah terpaksa bermain bebas seperti latihan. Beruntung mereka tidak marah padaku. Ada satu orang tapi cuma ngedumel saja. Dia minta ganti rugi karena temanku tidak datang dan ingin bertemu dengannya. Aku diamkan saja dia karena itu cuma kesal sesaat. Kalau yang lain mendesak juga, mau tidak mau harus kulakukan.

Meski tidak dipaksa teman sekolah, aku tetap kirim pesan ke temanku yang mengajak bertanding. Aku minta pertanggungjawaban dari dia. Tapi dia tidak merasa bersalah. “Kita berantem berdua. Kalau menang, gua bayar,” kurang lebih seperti itu perkataannya. Aku lupa kata tepat selain “berantem” yang dia kirim. Tapi intinya dia bilang seperti itu.

Saat itu bisa saja aku bilang ke teman sekolah untuk permintaannya itu. Tapi aku tidak mencari masalah hanya karena beberapa ribu. Toh, teman yang lain juga tidak begitu mempermasalahkan ini. Cuma satu orang saja dan omongannya memang suka melantur.

Meski begitu aku tidak memaafkan dia. Aku mulai bersikap negatif dengan dia dan teman rumahku yang lain. Karena aku tahu mereka pasti ingat dengan pertandingan itu dan tidak menepati janjinya sebagai laki-laki.

Kira-kira setahun kemudian aku bermain futsal lagi. Kali ini pertandingan antarorganisasi di rumah. Karena di sini ada satu masjid dan dua musola, setiap rumah ibadah itu ada organisasi pemuda yang aktif. Sebagai ajang silaturahmi, kami bertanding untuk mempererat pertemanan.



Ilustrasi kegiatan masjid di rumah


Lalu salah satu temanku mengajak orang ini dengan teman biasa dia bermain. Memang kuakui mereka mainnya lebih baik dariku. Pertandingan pun selesai. Saat uang dikumpulkan, aku suruh salah satu teman untuk meminta pada orang ini. Dia kembali tapi uang yang diberikan kurang. “Gua dapetnya segini doang dari mereka,” katanya.

Aku kesal menerimanya. Seenaknya saja membayar kurang padahal di sini cuma diajak. Mulai dari situ aku mencap dia sebagai orang yang tidak baik. Aku pun berjanji tidak mau main futsal lagi dengan mereka. Sampai saat ini janji itu masih terus kulakukan.

Saat itu pula aku selalu menilai sinis perkumpulan mereka. Kalau mereka main futsal, jalan-jalan, atau mengadakan kegiatan dan mengajak yang lain selalu kupandang tidak baik. “Paling ada saja masalah yang mereka lakukan nanti,” begitu selalu yang ada dalam hatiku.

Setahun yang lalu mau tidak mau aku terpaksa harus satu kegiatan dengan beberapa orang di antara orang tersebut. Biar gampang mengenalinya, orang yang mengajak berantem di atas aku beri nama Kacrut. Ada beberapa temannya yang satu geng dengan dia sebut saja Kecret, Kocrot, dan Kicrit.

Aku satu perkumpulan dalam beberapa kegiatan dengan mereka bertiga ini. Kacrut beberapa kali datang tapi tidak seaktif mereka bertiga. Semakin kenal, aku mengetahui bahwa mereka ini baik, enak diajak ngobrol, dan bisa membuat suasana menjadi ceria.

Aku mulai merasa berdosa sangat karena telah menilai secara keseluruhan perkumpulan mereka. Dari situ aku mulai mengevaluasi pikirikan sejenak. Setelah dianalisis, saat itu aku sedang tidak jernih dalam berpikir.

Kalau futsal yang pertama kali memang Kacrut salah besar. Tapi yang main futsal tidak bayar, ternyata teman yang aku suruh untuk meminta pada Kacrut dan lainnyalah yang salah. Aku mengingat-ingat setiap kali bermain futsal dengannya. Kesimpulannya dia memang suka bayar kurang. Tidak mau rugi tepatnya.

Intinya sebenarnya dua orang inilah yang seharusnya salah. Tapi karena mereka memanfaatkan keadaan, sehingga membuatku menilai salah secara kesatuan. Dari hati yang paling dalam aku minta maaf sekali karena telah menilai buruk kalian.
Previous
Next Post »
0 Komentar