Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 43)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Aku sudah tidak sabar lagi masuk sekolah. Sebulan liburan lebih dari cukup untuk menghabiskan bermain dengan teman-teman di rumah. Libur yang terlalu lama ternyata membuat suntuk. Namanya juga hidup, tidak akan pernah ada puasnya. Nanti kalau sudah sekolah ingin sekali libur panjang. Ketika dapat liburan, ingin sekali masuk sekolah. Begitu seterusnya sampai bola naga terkumpul.

Beruntung aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Aku selalu menikmati momen-momen yang ada. Jika sekolah, aku manfaatkan dengan teman sekolah, belajar, tertawa. Begitu pula jika liburan. Karena hanya dengan bersukur aku bisa menjalani setiap hembusan nafas. Aku bersukur karena masih bisa terus bersukur. Karena hanya dengan bersukur aku merasakan nikmatnya dunia.

Karena ini adalah hari pertama masuk, aku harus datang pagi ke sekolah. Hari pertama ini yang akan menentukan tempat duduk siswa. Prinsipnya siapa cepat dia dapat. Kursi paling belakang adalah idaman para siswa laki-laki. Karena dengan duduk di belakan mereka bisa berbuat apa saja. Menyontek, bermain dengan sembunyi-sembunyi ketika pelajaran sedang berlangsung, dan hal menyenangkan lainnya.

Berbeda dengan siswa yang duduk di depan. Biasanya mereka terkenal dengan pintar, rajin, dan serius. Hal yang paling ditakutkan adalah dekat dengan guru. Siswa yang duduk di depan mudah sekali dapat perhatian guru. Itu karena jarak pandang yang dekat. Jadi tidak bisa misalnya mencoret-coret kertas jika guru sedang menjelaskan pelajaran.

Apalagi kalau tidak ingin mencatat materi yang sedang diberikan. Menulis catatan adalah pekerjaan yang membosankan buatku. Bagaimana tidak, aku sudah punya buku pelajaran dan lembar kerja siswa yang menjelaskan materi dalam satu semester. Buku itu wajib dengan alasan agar bisa mendapat informasi dari mata pelajaran yang diberikan. Tapi kenapa kami harus mencatat materi yang sama?

Alasannya sih klasik. “Karena tidak semua materi ada dalam satu buku,” hampir semua guru mengatakan itu. Kalau begitu kenapa banyak sekali yang harus dicatat. Kalau setiap hari harus mencatat, kenapa tidak buku itu yang dijadikan referensi untuk dibeli siswa? Kesimpulanku satu, menulis banyak dilakukan guru karena ingin menghabiskan jam pelajaran.

Ya, cuma itu. Guru yang tidak kreatif selalu saja menyuruh kami untuk menulis materi dari buku lain. Rasanya tugas kami di sekolah hanya mencatat bukan belajar. Kasihan sekali pelajar Indonesia kalau punya guru yang tidak kreatif seperti ini. Belum lagi kalau guru sedang malas mengajar karena sedang tidak mood. Menulis materi adalah senjata andalan. Kalau dia tidak punya bahan untuk dicatat, senjata pamungkas lain adalah dengan mengerjakan soal yang ada di lembar kerja siswa.

Aku datang setengah jam lebih awal dari jam masuk sekolah. Wali kelasku di kelas dua mengatakan bahwa aku berada di kelas 3.6. Karena sudah tahu, aku hanya bertanya pada teman yang kukenal di mana letak kelas. Aku melihat teman sekelas ketika kelas satu masuk gerbang seolah. Sepertinya dia juga sedang kebingungan. Dia adalah teman sebangku juga. Dan ternyata kami satu kelas lagi di kelas tiga.

“Kita sebangku lagi saja. Nanti cari duduk di belakang,” ajaknya yang memang sepemikiran denganku.

“Selow,” aku menjawab singkat.

Ternyata memang belum banyak yang masuk. Kursi paling belakang pun kososng. Kami langsung menaruh tas di sana. Belum lama duduk, tiba-tiba ada yang teriak dari luar jendela. “Jef, jangan duduk di sana. Gua sudah tempatin buat yang lain.”

Suara itu adalah teman yang aku kenal. Kebetulan dia juga satu kelas juga ketika kelas satu. Sayangnya dia anak yang nakal. Tongkrongannya juga dengan kelas lain yang setipe. Waktu kelas satu dulu dia adalah kordinator tukang palak di kelasku. Entah untuk apa uangnya aku tidak tahu. Yang kudengar untuk beli rokok atau mabok. Tapi jarang itu dilakukan. Yang paling sering adalah uang preman untuk sekolah seberang.

Kalau kami tidak memberikan uang, mereka yang dari sekolah seberang pasti akan memaksa jika bertemu di luar sekolah setelah pulang. Bagaimana pun menolak pasti bertemu sekumpulan ini dan mengeluarkan uang. Tinggal pilih saja mau dengan cara kasar atau halus. Karena aku tidak punya kekuatan apa-apa, jadi berikan saja. Lagipula yang diberikan tidak banyak jadi tak masalah.

Walaupun aku tahu uang yang aku berikan digunakan untuk yang tidak baik, aku merasa tidak berdosa karena memberikan untuk kejahatan. Dari pelajaran agama yang aku dapat, kesehatan atau keselamatan diri adalah yang terpenting dibandingkan harta. Daripada aku mempertahankan diri yang pasti akan hancur karena dikeroyok para preman labil, lebih baik aku sisihkan sedikit uang agar mereka diam. Toh, seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa mereka tidak sering memalak.

Yang aku sayangkan adalah teman-teman jagoan di sekolah sangat cemen. Mereka hanya jago kandang. Beraninya pada orang lemah di satu sekolah. Giliran seperti ini mereka ciut. Aku menyebutnya preman pecundang. Nakalnya tanggung dan beraninya ramai-ramai. Temanku yang teriak ini adalah salah satunya.

Karena dia teriak seperti itu, aku pikir pasti dia menyisakan untuk teman nakal lainnya yang belum datang. Bel sekolah sudah berbunyi dan kursi belakang itu belum diisi juga. Aku rasa teman preman yang teriak tadi juga tidak tahu siapa yang akan datang. Hingga akhirnya kursi tersebut diduduki oleh orang yang biasa saja. Orang yang sama sepertiku. Aku pun terpaksa duduk di depan. Tapi tak apa. Tidak masalah juga.

Aku tidak duduk di bangku paling depan. Hanya saja di baris kedua depan guru. Sangat mudah dilihat oleh guru. Mencontek saat ulangan pun rasanya tidak bisa. Aku pun mengobrol dengan teman baru yang duduk tepat di belakangku.

Setengah jam bel berbunyi tapi belum ada guru yang datang. Hingga akhirnya aku melihat wanita yang datang terlambat. Rambut disekitar kening basah karena menyerap keringat. Di pipi sebelah kiri mengalir air ke arah leher. Sangat terlihat menarik melihat wanita yang berkeringat. Kecantikannya bertambah apalagi saat menyapu air yang menetes dengan tangan. Dia adalah Charnia. Aku satu kelas lagi dengannya!

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar