Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 72)

Bacaan sebelumnya klik di sini


Setahun sudah aku bergabung di kegiatan masjid. Gita juga semakin jarang terlihat. Bahkan dalam kegiatan rapat, dia tidak pernah ada. Ada bagusnya sih karena aku tidak perlu sibuk mencuri pandang dari dia. Lelah juga sebenarnya. Tapi terkadang aku menikmatinya meski kalau dipikir-pikir lebih banyak mudaratnya aku melakukan itu.

Aku hanya berangan-angan tanpa ada pergerakan. Aku berharap Gita mengajak bicara. Tidak mungkin sebenarnya. Aku adalah laki-laki. Seharusnya aku yang melakukan itu, bukan dia. Kalau tidak berani, ganti kelamin saja! Itulah sebabnya aku putuskan untuk benar-benar mencari jalan baru. Ketidakhadirannya di rapat menjadi berkah buat aku.

Tahun kedua Gita diminta gabung lagi oleh ketua acara. Kalau semua menerimanya, mungkin aku yang menolak. Tapi aku tidak berani mengatakannya. Masa mau melarang orang melakukan kebaikan. Aku berharap tidak tertarik lagi dengannya.

Nyatanya salah. Gita semakin manis dan tidak bosan dilihat. Aaahhhhh!!! Kalau begini ceritanya program yang sudah berjalan selama setahun ini gagal. Yang lebih parah, lagi-lagi aku satu kelas bersama Gita. Cobaan apa lagi ini. Sepertinya aku akan berjalan mundur dan bahkan jatuh. Aku harus berpikir positif dari ini semua. Aku memejamkan mata lalu menarik nafas dalam-dalam.

Ketemu! Anggap saja ini ujian terakhir. Hasil dari usaha aku untuk melupakan Gita akan dinilai di sini. Jika aku tidak terbawa perasaan, berarti aku sukses. Bagaimana kalau tidak? Aku harus yakin. Tidak ada kata tidak bagiku. Semuanya mungkin tejadi dengan usaha. Dan aku pasti bisa melewati ujian ini.

Hari pertama pesantren kilat aku sangat tidak fokus. Beberapa kali aku harus mencuri pandang dan melihat Gita. Gayanya yang sedang menenangkan satri ketika sedang berisik dan mengajar sangat menawan. Ingin sekali mata ini mengalihkan pandangan. Tapi aku tidak bisa. Rasanya mau terus begini. Pikiran anehku kembali mulai menari-nari.

Aku mulai membayangkan menikahi Gita dan memiliki anak. Di hari libur aku pergi jalan-jalan ke taman dan mengajarkan anak melihat dunia baru. Di situ Gita mencoba melatih anak kami berjalan. Sungguh bahagianya hidup kami. Aku menggit gigi agar kembali sadar. Kesadaranku mulai kembali. Lalu aku berpikir sepertinya aku akan gagal. Berarti yang aku lakukan selama satu tahun ini sia-sia.

Hari kedua Gita tidak masuk. Aku bersukur meski hati kecil mempertanyakan kemana dia pergi. Tapi tidak apa. Aku jadi bisa fokus jika tidak ada dia. Di hari setelahnya Gita lagi-lagi tidak hadir. Bahkan sampai kegiatan belajar mengajar hampir berakhir.

Gita hanya terlihat dua kali dalam dua minggu pertemuan. Di hari pertama dan penutupan. Dan sepertinya pada hari terakhir ini aku sudah mulai biasa saja jika bertemu dan bicara dengan Gita. Tanda bahwa aku sudah sedikit berhasil melupakan dia. Kalau dinilai, 70 hasilnya. Tidak terlalu buruk juga.

Di tahun ketiga atau pesantren kilat kemarin Gita sudah tidak aktif dalam kegiatan masjid. Aku juga sudah tidak mempertanyakan dia lagi. Yang aku dengar, dia sudah menikah. Kabar baik sebenarnya. Tapi aku sedikit kecewa. Aku berpikir kenapa tidak aku saja yang jadi mempelai prianya. Dia pasti beruntung bisa menikahi Gita. Meski begitu aku bersukur pada Tuhan karena sudah mengenal Gita walaupun hanya sebentar.

Cerita yang cukup panjang. Ini semua setelah aku bertemu dengan Dewi di tempat les. Jika saja tidak bertemu dia, mungkin aku tidak akan mengenang momen-momen pertama kali gabung dengan REMATA. Perjalan pulang aku habiskan dalam nostalgia. Untung saja tidak terjadi hal aneh saat mengendarai motor. Lagi pula aku kan mengendarai dengan pelan jadi seharusnya kemungkinan besar tidak akan terjadi kecelakaan.

Setibanya di rumah aku langsung ke kamar. Rebahan dan mengecek telepon genggam. Sejak pertama kali les aku mulai intens berkirim pesan dengan Mega. Kami saling menanyakan tugas baik itu yang di sekolah maupun tempat les. Kali ini dia menanyakan pekerjaan rumah matematika yang ada di sekolah. Untung saja diingatkan dia. kalau tidak, aku bisa mengerjakan di sekolah.

Sebenarnya bukan hanya soal pelajaran saja, kami juga berkabar soal lain. Kadang membicarakan kegiatan dia hari ini, atau menanyakan apa yang kami suka dan tidak suka. Aku merasa kami menjadi sangat dekat. Masalahnya, Mega ini disukai oleh teman baik aku. Apa mungkin aku akan mendekati dia?

Bersambung…

Previous
Next Post »
0 Komentar