Kisah-Kasih di Sekolah (Bagian 75)


Bacaan sebelumnya klik di sini

Aku selalu menjawab dengan singkat. Selain ingin membuat Mega penasaran juga karena tidak ada jawaban yang bisa aku jawab dengan lengkap. Tentu pesan yang aku balas ke Mega selalu mengundang tanya. “Kok malu? Jefri malu berteman sama Mega?”

Waduuhhh. Jadi rumit nih sepertinya. Jawab apa yah. Aku tidak mungkin terus-terusan mengelak seperti ini. Aku juga tidak bisa bilang tidak enak pada Asep karena terlihat suka Mega. Pada nyatanya sekarang aku tetap intens berkirim pesan. Munafik namanya. Obrolan serius seperti ini selalu membuat aku lama untuk balas pesan.

Satu jam kemudian aku baru mengirim pesan ke Mega. “Maaf baru balas. Jefri bukannya cuek kalau tapi karena tidak ada bahan untuk ngobrol sama Mega. Jadi kalau ketemu ya biasa saja. Hehee. Oh iya bukannya Mega sangat dekat dengan Asep?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan berharap Mega puas dengan jawaban yang aku berikan serta lupa dengan topik ini karena pertanyaan yang aku berikan.

Tidak lama Mega menjawab pesan yang aku berikan. Beda seperti aku. Dia jawab tegas tanpa membuat aku bertanya-tanya. Dia menolak jika dibilang dekat  dengan Asep. Itu hanya gosip yang dilempar pada teman-teman kelas. Memang ada beberapa teman yang tidak suka dia. Ada saja isu negatif yang menimpa dirinya. Tapi Mega selalu menjawab dengan santai.

Tapi kali ini aku tidak setuju. Bahkan belakangan hampir setiap hari Asep pulang bersama Mega. Kalau memang Mega menganggapnya seperti biasa saja, berarti Asep sedang dimanfaatkan. Hanya saja sampai sekarang aku tidak tahu seperti apa perasaan Asep. Apakah sama seperti Mega atau berharap lebih.

Kami teman nongkrong bareng selalu penasaran dengan jawaban Asep. Dia selalu diam dan tertawa jika didesak seperti itu. Biasanya Rapsan yang selalu menjadi tumbal dijadikan pengalihan isu. Setelah itu beralih ke Ihsan. Dan itu selalu berhasil. Karena kami selalu memiliki kuncian jika sedang terdesak. Dan Asep selalu memanfaatkan celah itu.

Saling balas pesan singkat terus berlanjut. Pembahasan soal aku yang takut bertemu Mega dan soal kedekatannya dengan Asep terjawab sudah. Tidak ada yang perlu digali lebih dalam lagi mengenai ini baik dari Mega maupun aku. Mega kembali bertanya, tapi tentang hal lain. pertanyaan yang sulit aku jawab lagi.

“Jefri sekarang lagi dekat dengan siapa?” Aku kaget. Kenapa dia bertanya seperti ini? Apa Mega berharap lebih padaku? Jujur, aku tidak pernah bisa menjawab terus terang sepenuhnya jika ditanya serius seperti ini. Memang tidak ada wanita yang sedang aku dekati.

Dengan Tia, aku menganggapnya biasa saja. Kami juga jarang memberi kabar dan bertemu. Aku sadar dia suka aku. Tapi aku tidak tidak punya perasaan apa-apa. Mungkin karena aku kurang tertarik meski dia cantik. Jika momen berkirim pesan sangat sering, pasti akan muncul perasaan padanya. Tapi aku belum mau memanfaatkan kesempatan itu.

Pada dasarnya aku masih berharap pada Vini. Hampir satu semester kami tidak saling menyapa sejak terakhir bertemu dan mengantar dia pulang. Itu karena aku yang pecundang sehingga tidak berani berbincang padanya meski melalui telepon.

Sampai akhirnya aku melihat dia pulang sekolah dengan pria menggunakan sepeda motor. Tangannya menggenggam erat baju si pria. Terkadang kepalanya mendekat agar bisa mendengar jelas pria itu yang sedang bicara. Setelah itu dia mulutnya melebar dan terlihat sedikit giginya yang tertata rapi. Senyum yang sangat bahagia. Simpul senyum itu yang selalu membuat aku suka. Bentuk itu tidak pernah berubah sejak SMP.

Aku yang melihatnya dari kejauhan saat pulang melewati sekolahnya sangat terkejut. Aku kendalikan motor dari kejauhan agar tak terlihat dia. Sungguh ini terasa sangat sakit di dada tapi aku tidak bisa merasakan ada di bagian mana. Semakin lama semakin sesak. Aku mencoba tenang dengan terus menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.

Aku masih tidak bisa menerima keadaan ini. Vini sudah punya pacar. Aku mengira dia juga suka aku dan akan menunggu sampai aku menyatakan perasaan. Nyatanya bayangan itu hanya ada dalam layar kaca. Aku sangat tertipu dengan cerita palsu itu. Dan akhirnya hanyalah sesal yang aku terima. Aku menghibur diri bahwa nanti juga dia akan putus. Sampai saat itu tiba, aku akan menunggu. Harapan yang sangat miris!

Soal pertanyaan Mega ini bagaimana? Apakah aku harus menjawab jujur? Aku berpikir. Bagaimana kalau dia berharap lebih dengan jawaban dari hati yang terdalam? Asep selalu muncul dalam benak. Aku yakin dia pasti ada perasaan dengan Mega. Saat ini, perasaan itu juga mulai aku rasakan. Aku terjebak dalam tindakan yang sudah aku mulai. Kini, aku sudah yakin akan memberikan pernyataan seperti apa.

Lama sekali aku balas pertanyaan Mega ini. Enam jam berlalu. Hari juga sudah gelap. Aku harus balas ini sebelum tidur. Aku mulai mengetik. Satu persatu kata aku baca ulang. Mata kupejam, berpikir apakah kalimat ini sudah tepat atau belum. Jempol sudah siap menekan tombol kirim. Aku buka mata dan yakin dengan jawaban yang sudah tersusun rapi. Layar telepon memberikan konfirmasi, “Pesan terkirim.”

Bersambung…
Previous
Next Post »
0 Komentar