Air Liki, Desa yang Tidak Terjamah Google Maps



Sejak dipindah desk ke politik pada Juni 2018 lalu, tiga bulan aku hanya bertugas di Jakarta. Dinas luar kota adalah sebenarnya salah satu penyegaran di antara pusingnya memikirkan isu, mencerna omongan narasumber yang tidak konsisten, dan mengawal negara.

Kemudian kabar baik datang di awal September. Aku ditanya atasan apakah akan ada isu besar dalam seminggu ke depan. Tentu saja tidak. Memang bulan ini banyak peristiwa besar.

Mulai dari siapa yang akan menjadi peserta pemilihan presiden hingga mereka resmi mendaftarkan diri. Tapi itu ada di pekan terakhir bulan sembilan ini. Kalian sudah tahu dong siapa yang menjadi capres-cawapres. Jadi tidak perlu harus disebut lagi siapa.

Karena tidak ada yang harus dikawal, aku ditugaskan ke Air Liki, Jambi. Acaranya tentang peresmian pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) .

Ada dua pertanyaan yang kemudian muncul. Di mana lokasinya karena baru pertama kali aku mendengar daerah itu. Kedua, apa perbedaan antara tenaga air dan mikro hidro. Hidro itu kan artinya air.

Ya sudah aku terima saja dulu tugas ini. Penasaran itu bisa dijawab nanti setelah riset di internet. Yang penting sekarang adalah aku keluar kota. Lupakan sejenak tentang politik.

Surat undangan dan rencana kegiatan kemudian sampai melalui pesan instan. Kami akan mengunjungi dua tempat berbeda yang lokasinya berjauhan. Air Liki dan Lubuk Bangka.

Kemudian aku mencoba berselancar di Internet. Aku kaget karena Google Maps tidak bisa memberikan jalur ke Air Liki. Jalan yang tidak terbaca sejauh 30 Km.

Kalau disamakan, itu sama seperti dari Serpong, Tangerang Selatan ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Jauh banget coy! Kalau Lubuk Bangka masih ada jalannya jadi tidak terlalu menarik dibahas.

Desa Air Liki terbagi dua, yaitu Air Liki Lama dan Air Liki Baru. Ternyata, kondisi jalan yang tidak ada perbaikan membuat daerah ini terisolasi di Provinsi Jambi. Seperti yang aku bilang sebelumnya, 30 Km tidak bisa dilalui jalur darat. Inilah yang membuat Air Liki tidak terbaca di Google Maps.

Transportasi pertama via udara dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang ke Bandara Sultan Thaha, Jambi. Perjalanan dari pusat kota Jambi menuju lokasi memakan waktu kurang lebih 11 jam. Selama 8 jam menggunakan mobil dengan kapasitas mesin besar karena struktur jalan tanah yang berbatuan dan berliku.

Aku sarankan jika memang penasaran dan mau ke sini harus meminum obat antimabuk terlebih dahulu dan kosongkan perut. Kamu bisa mengeluarkannya kembali jika tidak kuat.

Jalur darat terhenti sampai di dermaga Desa Ngaco. Aku masih harus menyusuri Sungai Batang Tabir selama dua jam menggunakan sampan yang telah dimodifikasi dengan mesin. Nama transportasi itu adalah ketek. Sebenarnya nama lengkapnya keretek karena berbunyi tek tek tek. Mungkin cape kali yah bilang Keretek, jadi disingkat jadi Tektek.


Naik Tektek ini seru. Kamu bisa melihat hutan di kiri kanan. Arusnya deras membuat seperti wahana arum jeram. Bedanya, ini cuma pakai mesin. Berdoa saja sih biar aman karena tidak ada tidak disediakan pelampung.

Oh iya, di sepanjang perjalanan Aku melihat aktivitas penambangan emas. Di sini emas masih menjadi salah satu mata pencarian warga setempat walaupun sudah mulai ditinggali karena mulai sedikit.

Turun dari dermaga, kendaraan terakhir menggunakan ojek. Waktu harus ditempuh selama sejam dengan jarak 5 Km. Pengemudi harus sangat hati-hati karena sebelah kanan jurang dan kiri tebing yang rawan longsor. Lebar jalan hanya selangkangan.

Warga Air Liki tidak begitu banyak. Jadi ada dua desa, Air Liki Lama dan Air Liki Baru. Air liki lama ini 5 Km dari dermaga. Air Liki Baru lebih jauh lagi. Jaraknya juga 5 Km.

Di sini sungguh tenang. Selain tidak ada polusi dan kendaraan bermotor, sinyal seluler tak ada. Tidak heran kalau informasi sulit didapat. Warga setempat punya telepon genggam tapi cuma untuk mendengar musik dan mengambil foto saja.

Sebenarnya miris juga sih, sudah tidak ada listrik, sinyal pun tak ada. Pemerintah setempat benar-benar tidak hadir di sana.

Informasi yang aku dapat dari wartawan setempat, sebenarnya sudah dibuka jalur darat menuju Air Liki yang membentang di pinggir sungai. Tapi entah kenapa itu tidak berlanjut.

Lalu kami wartawan dari Ibu Kota sepakat untuk mencecar Gubernur Jambi. Akan tetapi karena Sang Gubernur, yaitu Zumi Zola menjadi tersangka korupsi, Wakil Gubernur Jambi, Fachrori Umar yang naik menjadi pelaksana tugas jadi sasaran kami.

Kebetulan dia memberi sambutan di Lubuk Bangka. Kami kejar dia untuk meminta tanggapan dan kenapa jalan bisa terbengkalai.

Fachrori meminta warga Air Liki untuk bersabar karena pembangunan akan dilakukan secara bertahap. Alasannya, sekarang dana pemerintah belum cukup untuk memenuhi seluruh pembangunan jalan.

“Kita saja ada sebelas kabupaten. Belum lagi kecamatan. Jadi kami memiliki ribuan desa juga,” katanya.

Kepala Desa Air Liki Lama Pulpi Marlinton menjelaskan bahwa sangat jarang warganya pergi ke luar desa karena biayanya yang terlalu tinggi.

Untuk meninggalkan desa, uang Rp1 juta tidak akan cukup belanja dan memenuhi kehidupan selama sebulan. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan hasil bertani.

“Kami nasi tanam sendiri. Semuanya berasal dari sawah,” jelasnya ketika menyambut kami yang telah tiba dari perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan.

Tidak heran dengan kondisi demikian barang-barang menjadi mahal. Biasanya, harga yang ditawarkan dua kali lipat. Bahan bakar minyak misalnya, di sana dipatok seharga Rp15.000. Sementara itu gas tabung melon dijual Rp35.000.

Jalan yang rusak juga membuat listrik menjadi barang yang sangat mewah. Warga Air Liki belum lama ini bisa menikmati listrik yang sebelumnya membuat kehidupan ada hanya sampai sore hari.

Warga asli setempat Harian Tabik mengatakan bahwa awal mula desa masuk listrik ketika pemerintah Jambi memberikan panel surya untuk setiap rumah pada 2005.

“Itu cuma cukup untuk satu bohlam dan tidak bisa seharian. Kalau cuaca gelap juga tidak bisa digunakan,” tuturnya.

Jauh sebelum itu, warga Air Liki menggunakan obor untuk penerangan menggunakan getah karet yang ditumbuk. Bahan dasar harus dicari dulu di hutan. Jika hari gelap, Air Liki seperti kota mati. Hanya penduduk yang memiliki uang lebih saja bisa merasakan listrik menggunakan genset.

Pada 2013 pemerintah mulai mencari cara menghasilkan sumber energi sendiri yaitu menggunakan tenaga mikro hidro. Dengan arus sungai yang ada, kapasitas tenaga yang bisa dihasilkan 40 KW dan bisa menerangi 136 rumah tangga.

Sayang, pengelolaan air yang kurang baik membuat tenaga yang dihasilkan tidak maksimal. Hal ini karena saat musim kemarau aliran sungai menjadi kurang deras.

Pengalaman ini membuat aku semakin sadar untuk menghemat energi. Lalu sering merasa kesal setiap kali Jakarta sangat terang sekali. Banyak sekali pelajaran dari Air Liki.

Ceritanya tanggung ya? Tenang masih bersambung satu tulisan lagi. Ditunggu ya!

Previous
Next Post »
0 Komentar