Main Salju Murah, India Negaranya (preambul)

Desember lalu Ali Mansur mengirim pesan instan. Dia ajak pergi ke luar negeri. Bukan negara tetangga, Eropa, atau yang wisata favorit kebanyakan. Negeri yang terkenal dengan film sedih. Ya, India!

Ali bilang akan bermain salju di sana. Yang terbesit padaku dan orang yang belum mengenal jauh negeri yang selalu menjadikan bawang bahan utama ini pasti, "Memang ada salju di India?"

Pasti ada. Karena India berbatasan dengan Tibet dan gunung tertinggi di dunia, Everest. Kemudian aku tersadar dan yakin India bersalju.

Pemandangan perbatasan India antara bersalju dengan tidak 

Saat kupastikan iya, pertanyaan selanjutnya yakni kapan berangkatnya. "24 Februari. Kita seminggu di sana," jawab Ali.

Oke aku ikut. Aku tidak bertanya lebih ke mana saja di India karena tahu Ali pasti sudah memikirkan hal yang matang. Dalam hal perjalanan jarak dia selalu mencari informasi di media daring.

Bisa dibilang Ali sangat sering mengajak jalan-jalan. Pertama kali saat masih kuliah. Pada libur semester 5 kalau tidak salah. Tapi saat itu aku masih belum berminat untuk keluar negeri.

Semenjak saat itu, Ali jadi sering menawarkan perjalanan antarnegara. Berbagai harga murah dia tawarkan. Sekali lagi aku masih belum berminat.

Lulus kuliah kami sama-sama bekerja di media massa tapi beda perusahaan. Berada di dunia pemberitaan kadang kala menerima undangan ke luar negeri. Ya, ada juga sih yang pakai biaya kantor meski itu jarang.

Tiga bulan menjadi wartawan profesional, ada wacana aku akan dikirim ke negeri orang. Penyebabnya ada peperangan di Timur Tengah. Dalam grup pesan instan, para bos berdiskusi apakah akan mengirim wartawan ke sana.

Kebetulan salah satu di antara mereka ada orang dekat yang bisa membawa dan mengantar ke mana saja ke lingkaran pasukan gerilyawan. Entah mengapa aku jadi salah satu kandidat.

Deg-degan dong karena belum ahli banget tapi sudah dapat tugas begituan. Singkat cerita wacana itu batal. Alhamdulillah saja. Secara mental memang aku belum siap.

Beberapa bulan kemudian saat hampir setahun di media atasan yang mengurus aku langsung mengirim pesan, "Jef, lu punya paspor?"

Aku jawab belum. Lalu dia minta untuk segera buat karena ada kemungkinan aku bakal mendapat jatah ke luar negeri. Di media tempat aku bekerja seperti itu tradisinya baru akan bisa dikirim kalau sudah setahun.

Tak lama dapat pesan itu, aku langsung bergegas ke kantor imigrasi. Setelah jadi, aku pamer ke Ali sudah punya paspor. Akan tetapi hingga aku dipindah ke manajemen yang baru penugasan ke negeri orang tidak terlaksana.

Ali meledek, "Itu paspor masih belum ada capnya ya?" Aku panas. Beberapa kali kesempatan saat kumpul dengan teman-teman aku membuka wacana untuk liburan ke luar negeri. Beberapa kali itu cuma jadi basa-basi. Akhirnya terwujud tahun ini dengan janji pada penghujung 2018.

Persiapan sebelum terbang


Langkah selanjutnya adalah meminta izin kepada redaktur. Kalau yang belum paham, dia adalah atasan yang memberikan penugasan. Bukan pembuat kebijakan sih tapi harus izin ke dia dulu baru ke penanggung jawab kompartemen atau redaktur pelaksana. Cuti selama seminggu dapat izin.

Selanjutnya adalah pembelian tiket. Aku beli sendiri tanpa perantara Ali. Padahal sebelumnya aku sudah meminta dia agar pesan bersamaan.

Tapi dia tak mau. Alasannya agar tidak dituduh mengutip dari biaya pesawat. Ali memang seperti itu. Sebagai orang yang punya celah dan banyak memiliki informasi tiket murah, sering kali membuat aku tidak percaya.

Dia sering sekali mendapat tiket murah. Misalnya ke Thailand kurang dari Rp500.000 untuk pergi-pulang. Lalu dia mencari celah menjual dengan di bawah harga normal.

Untuk kali ini sebenarnya aku tak masalah jika Ali minta pajak asalkan murah. Tapi dia kukuh ingin aku saja yang mengurus sendiri tiket. Ya sudah kalau memang demikian.

Sendiri tidak dalam arti sesungguhnya aku yang mencari. Ali sudah dapat referensi paling murah dan aku tinggal melakukan transaksi pembayaran.

Proses pembayaran ini sempat tertunda karena Ali mencari tiket lebih murah. Beberapa hari kemudian tidak ada perubahan. Jadinya tiket pesawat dari Jakarta-Kuala Lumpur-New Delhi dan sebaliknya seharga Rp3.656.402

Nyatanya aku berangkat tidak bareng Ali dari Jakarta. Ini karena jam yang sama dengannya lebih mahal. Yang seharga Ali berangkat pada jam pertama penerbangan, yaitu 05.35 sementara Ali 09.45.

Ada enak dan tidaknya sih. Tidak mengasikkan dulu ya, aku harus bangun sangat pagi. Kabar baiknya aku bisa main sebentar di Malaysia.

“Gua malah mau berangkat Subuh,” kata Ali. Aku tidak tahu apakah itu cuma untuk menghibur atau bukan, tapi aku mengambil sisi positif demikian.

Saat transit di Kuala Lumpur, aku memiliki waktu enam jam di sana. Cukup untuk jalan-jalan sebentar di Petronas. Apapun rencana tambahan, yang penting akhirnya ini paspor berguna juga. Dan aku tidak sabar mencoba petualangan baru!!!

Bersambung...
Previous
Next Post »
0 Komentar