Main Salju di India; Aklimatisasi pada Suhu Minus

Bacaan sebelumnya klik di sini


Sebelum jam 18.00 waktu setempat Aku dan Ali sudah sampai di New Stand Bus. Sekitar jam 20.00 bus kami jalan ke Old Manali. Saat jamnya tiba, kami mengecek tempat kendaraan yang akan dinaiki menunggu. Tapi rasanya bukan bus ini.

Ketika memesan bus, Aku sudah bilang sama penjaga loket beli eksekutif. Dia mengiyakan. Ditunjukkan foto pada selebaran bus. Oke diputuskan beli yang itu. Ternyata busnya jelek.

Ya, tidak jelek banget sih. Tapi tidak seperti rupa yang di selebaran. Yang ditunjukkannya seperti bus bandara di Malaysia. Bentuknya memang mirip, tapi kondisinya tidak.

Lalu Aku memastikan pada pengatur bus. Dia bilang memang itu bentuknya. Aku masih tidak percaya dan meyakini itu adalah bus sebelumnya. Beberapa menit kemudian supirnya datang. Dia bilang ini bus yang kami pesan. Baiklah kena tipu. Sial!

Perjalanan ke Old Manali memakan waktu sekitar 9 jam. Seperti biasa Aku langsung tidur. Beberapa kali terbangun karena kedinginan dan kurang nyaman karena istirahat sambil duduk.

Sekitar jam 06.00 kami tiba di terminal Old Manali. Akan tetapi hari masih gelap meski sudah pagi. Di sisi lain udara sangat dingin. Rasanya menembus sampai tulang. Aku buru-buru mengenakan jaket.

Aku nengecek suhu dari telepon genggam. Di bawah 0 derajat. Bbrrrrrr. Cairan di hidung terus keluar dan tak berhenti. Kubaluti leher sampai hidung dengan syal. Selain menghalau angin, ini juga biar tak terlihat ingus oleh orang sekitar.

Dari terminal ke hotel sebenarnya dekat. Sekitar 3 Km. Karena kondisi tidak memungkinkan, kami memutuskan mengunakan taksi. Selain gelap, udaranya membuat lemas. Aku lupa ongkos taksi. Sekitar Rs300 atau Rp60.000 (Rs1=Rp200).

Di dalam taksi sangat hangat. Benar-benar nikmat. Rasanya mau lama-lama dan tidak mau keluar. Aku tidak bisa melihat kondisi sekitar karena masih gelap. Tak lebih dari 10 menit kami tiba di hotel. Buru-buru Aku ingin segera masuk kamar, memanaskan tubuh, dan tidur.

Kudorong pintu hotel. Keras, tidak mau terbuka. Ternyata masih tutup. Terus bagaimana. Aku tidak mungkin berdiri di depan hotel dengan cuaca sedingin ini. Coba kutengok hotel tetangga. Semuanya gelap dan tertutup rapat. Dari sinilah muncul kesimpulan kehidupan baru ada jam 08.00.

Langit mulai terang. Tapi tidak kulihat matahari. Sepertinya masih tertutup oleh bukit. Atap rumah dan hotel tertutup salju meski tidak terlalu tebal. Beberapa kali kudengar lelehan salju runtuh menghantam tanah.

Sembari memandangi lingkungan sekitar di teras hotel, Aku mencari tempat agar bisa duduk. Setidaknya tidak di tempat ini karena angin sangat leluasa menghantam tubuh. Plus, tubuh masih lemas karena kurang tidur.

Ternyata ada ruang bawah tanah. Itu tempat parkir mobil. Aku turun dan mencari tempat agar bisa duduk. Ketemu! Tidak begitu bagus memang. Tapi bisa selonjoran sambil menyandarkan punggung.

Tempatnya sangat berdebu. Sepertinya tidak pernah disapu. Masa bodoh. Yang penting bisa bersantai sebentar. Aku ajak Ali. Tapi dia tidak mau. Dia memilih berdiri di luar sambil merokok dan kedinginan. Ya sudah. Terserah.

Aku buka selimut darurat. Bahannya alumunium dan tipis. Aku beli di peralatan gunung. Ini bermanfaat untuk orang kena hipotermia. Kuselimuti diri dengan itu yang berguna menghalau angin dan sebagai alas duduk.

Akhirnya jam 08.00 juga. Pintu hotel dibuka. Kami segera masuk dan melakukan konfirmasi pembayaran. Jati diri mulai paspor, visa, hingga nomor telepon diminta. Proses selesai dan kami diantar ke kamar.

Kamarnya standar. Tidak bagus, juga tidak jelek. Cukup luas tapi tidak ada televisi. Siapa juga yang butuh itu. Kan Aku sedang liburan. Yang penting ada pengahat ruangan dan air panas. Itu yang paling penting.

Dengan harga Rp225.000 permalam, hotel ini lumayan bisa dijadikan rekomendasi. Rata-rata memang harganya sekitar segitu. Kalian bisa cek di aplikasi atau situ penyedia sewa hotel.

Selesai menunjukkan kamar petugas hotel tidak langsung pulang. Dia menunggu. Aku tahu dia berharap ada tip. Di sini, petugas pemberi saja seperti dia dan rumah makan selalu meminta kebaikan.

Sudah menjadi kebiasaan sepertinya. Ya, kalau tidak dikasih juga tidak apa-apa. Tapi kan tidak masalah memberi sedikit rezeki. Setelah itu kami rebahan di kasur. Enak sekali. Tiga hari Aku tidak merasakan kasur. Tiga hari pula tidak mandi. Tapi tidak bau karena keringat tidak keluar. Maklum, cuaca sangat dingin.

Setelah membersihkan badan mata rasanya berat sekali. Tapi Aku tidak mau tidur. Di sini kan mau jalan-jalan. Tapi apa daya. Kasur ini memiliki magnet yang sangat kuat. Kurang dari lima menit kami tertidur. Bukti perjalanan menyenangkan ini menguras tenaga.

***

Tak terasa Aku tertidur selama tiga jam. Aku melihat ke samping tempat tidur Ali. Dia juga terlihat sama. Sangat lelah. Aku melihat waktu di telepon genggam. Sekitar jam 12.00. Aku bangunkan Ali dan segera bergegas menyusun rencana.

Kami masih belum tahu akan ke mana. Yang jelas adalah Rohtang Pass dan Solang Valley. Itu tempat yang terkenal di Old Manali. Sisanya meraba dengan mengecek di internet atau bertanya pada warga sekitar.

Tapi kami lapar. Maklum, belum sarapan. Lalu kami ke lobi bertanya pada penjaga hotel tempat penyewaan motor. Rental yang ada di internet mengharuskan ada semacam SIM internasional. Mana punya kami.

Beruntung penjaga hotel punya kenalan. Dia bilang Rs1.200 (Rp240.000). Aku sempat berpikir ulang mengenakan jasanya karena cukup mahal. Tapi iya sudah tidak masalah. Daripada kami harus mencari dan belum tentu juga dapat juga dengan persyaratannya yang ribet. Ini lebih ringkas. Lagipula itu harga normal.

Motornya bukan sembarang motor. Royal Enfield. Di Jakarta harga sewanya bisa sampai Rp1 juta. Sepadan lah. Petugas bilang penyewa akan datang dengan motor sekitar 10 menit lagi. Sembari menunggu, kami mencari makan.

Di dua tempat yang Aku datangi (Old Manali dan Shimla), kalau pagi tidak ada yang jualan nasi. Semua pasti berbahan tepung. Ya,itu prata atau roti cane. Tapi ditemani tidak dengan susu dan keju. Biasanya dengan saus khas India yang rasanya asal atau kari yang di dalamnya ada kentang atau daging.

Selesai makan kami ke hotel. Motornya sudah ada di halaman. Aku yang bawa. Ali tidak bisa mengendarai motor kopling. Aku pun belum terbiasa dengan motor dengan CC besar. Yang pasti berat. Tapi mengasikkan karena bikin tambah gagah.

Lalu kami ke mana? Tidak tahu. Kami terdiam lalu tertawa karena sangat bodoh pergi tanpa rencana. “Ya sudah kita ke kiri saja, Kong,” kataku berinisiatif tanpa tahu ke mana. Yang penting jalan dulu.

Ternyata tempat di sini adalah penginapan semua. Kiri kanan hotel dengan jalanan menanjak terjal dan tidak rata. Akhirnya Aku berhenti. Yakin tidak ada tempat rekreasi jika diteruskan. Tapi abadikan momen dulu. Pemandangannya bagus. (bisa cek di Instagram ya karena sudah diunggah).

Aku minta bantuan Google. “Oke Google, tempat rekreasi terdekat.” Dia menunjukkan arah tempat kami turun dari bus. Ternyata di situ adalah alun-alun. Sama seperti di Shimla. Banyak pelancong dan yang pasti oleh-oleh.

Kami belum memutuskan belanja karena mau muter-muter. Siang hari lingkungan sekitar bisa dilihat. Ternyata jalan menuju lokasi cukup buruk. Sepertinya habis longsor. Kiri tebing kanan sungai. Sementara itu jalan licin karena salju mulai mencair.

Meski sudah meleleh, suhu masih dingin. Cuaca rata-rata adalah 0 derajat. Sangat dingin. Padahal cuaca sedang cerah dan tidak turun salju. Di sisi lain Aku mau merasakannya yang benar-benar turun dari langit.

Saat berkendara, tangan seperti tertusuk-tusuk. Semenit diterpa angin Old Manali cukup membuat mati rasa. Aku tidak bisa merasakan jemari.

Menarik gas dan menekan kopling dengan perasaan saja. Belum lagi muka tanpa masker. Keadaan diperparah dengan tanjakan yang teraspal bolong. Licin. Ali bahkan harus turun biar tidak selip.

Jalan yang cukup curam dengan kondisi kurang bagus

Akhirnya sampai di alun-alun. Di sini tidak sampai sejam. Setelah itu pergi ke lokasi kedua seperti disarankan Google. Cuma candi dan vihara. Tempat wisata di sini hanya itu saja.

Di tempat pertama sudah ramai orang. Mereka bermain salju. Aku pun ikutan. Saking noraknya, itu Aku makan seperti menirukan kartun saat masih kecil. Inilah salah satu mimpi dulu. Mau tahu rasanya? Seperti bunga es. Ya, ini kan memang es.

Mau ke lokasi kedua, Aku melihat ada hewan khas India. Namanya Yak. Seperti lembu besar dengan buku yang cukup tebal. Bahkan sampai menutupi mata. Aku mau foto tapi ternyata bayar. Ada penjaga yang bilang Rs500. Waaw tahu banget duit. Aku langsung urungkan niat mengabadikan momen bersama.

Di gerbang pintu masuk Aku penasaran. Lalu bertanya pada penyedia jasa lain. Ini lebih murah 10 kali lipat. Rs50. Foto dengan baju khas tambah Rs50. Jadi total Rs100.

Foto bareng Yak

Lalu kami bergegas ke tempat kedua. Tidak terlalu istimewa sih karena hanya vihara. Muter-muter sebentar lalu ke alun-alun lagi untuk cari makan. Entah makan siang atau makan sore. Tapi kami lapar karena belum kena nasi. Cari lokasi yang sekiranya menjual itu.

Pas pulang salju mulai turun dengan deras. Bahagia karena yang Aku inginkan nyata. Aku hadapkan wajah ke atas merasakan seperti apa saat setiap butiran mengenai kulit. Saat itu Aku merasa bersyukur karena sudah diberi hidup yang sehat dan juga ke India.

Tapi penderitaan kembali datang. Hawa makin dingin. Beruntung tak ada angin. Tangan kembali mati rasa. Meski begitu Aku senang dan menikmati dinginnya India.

Sebelum jam 18.00 kami sampai lagi di hotel. Menghangatkan lagi tubuh dan menyusun rencana selanjutnya untuk besok. Solang Valley dan Rohtang Pass tunggu Aku!

Bersambung...

Previous
Next Post »
0 Komentar