Ke Makam Kakek dan Nenek



Dua bulan sebelum puasa kami sekeluarga pergi ke Semarang tempat di mana ayah dilahirkan dan dibersarkan. Biasanya kami pulang kampung kalau ada agenda besar, entah itu lebaran, nikah saudara atau silaturahmi akbar. Untuk kali ini alasan ayah mengajak pergi sebelum orang Jakarta pulang kampung secara masif karena ada sepupu yang menikah.

Kami berangkat menggunakan kendaraan massa umum yakni kereta api. Entah apa yang dipikirkan ketika itu hingga ayah lebih memilih ini. Mungkin karena ingin santai, makanya dia cenderung menggunakan kereta. Tiga tahun terakhir selama kami ke sana, biasanya selalu memakai mobil yang entah itu menyewa atau pinjam punya saudara.

Jika saja aku bisa menggunakan kendaraan pribadi mungkin beda ceritanya. Karena memang aku menyadari dengan usia yang sudah tua, ayah tidak mungkin mengendari mobil jauh. Sudah saatnya aku yang menggantikan ayah menyupir kalau kami pergi ke luar kota. 

Naik kereta bisnis sudah beda dengan yang sebelumnya. Aku memang sering menggunakan kereta ekonomi jika jalan-jalan dengan teman kuliah. Akan tetapi untuk kelas bisnis belum pernah sama sekali sejak peraturan yang baru. Suasananya tenang, dingin, dan pastinya nyaman. Bukan hanya itu, pengguna kereta kelas bisnis jumlahnya juga lebih sedikit.

Itu membuatku bisa menggunakan satu baris bangku penuh untuk tidur. Sayang, bangkunya tidak sepanjang yang ada di kelas ekonomi. Semua bangku di kelas bisnis hanya untuk dua orang sehingga kalau tidur tidak bisa untuk meluruskan kaki. Tapi itu tak masalah. Aku bisa tidur dengan kondisi seperti apapun. Telentang dengan kaki sedikit menekuk sudah cukup untukku memejamkan mata.

Sembilan jam di kereta, akhirnya kami sampai. Karena aku sudah tidak punya kakek dan nenek satu darah, akhirnya kami singgah ke rumah saudara kakek. Walaupun saudara kakek juga sudah meninggal tiga tahun lalu, tapi dia masih memiliki istri. Meski saudara jauh, tapi ikatan kekeluaraan kami begitu dekat.

Waktu kecil dulu, ayah suka main ke sana. Dan itu masih dilakukan hingga sekarang. Lokasinya yang dekat dengan rumah nenek membuat kami sering ke sana setiap pulang kampung. Bukan hanya itu, kakek yang sudah meninggal sejak ayah berusia sepuluh tahun membuat kedekatan ayah dengan saudara kandung kakek ini erat. Bahkan kedatangan kami selalu ditunggu.

Ya, kakek yang meninggal sejak ayah berusia sepuluh tahun membuatku tidak pernah bisa merasakan punya kakek yang sebenarnya. Minimnya dokumentasi juga membuat tak pernah tahu seperti apa rupa sang kakek. 

Hingga saat ini pun aku tidak punya bayangan seperti apa bentuk wajahnya, bagaimana dia jika tersenyum apalagi marah. Apakah memiliki rambut yang keriting seperti aku? Sepertinya tidak karena tidak ada keturunan ayah yang berambut keriting.

Berdasarkan cerita, kakek sangat mirip dengan ayah. Itulah sebabnya saudara kakek sangat sayang dengan ayah. Mungkin sosok ayah mengingatkan saudara kandung kakek. Oleh karena itu kalau ingin tahu kakek, aku bisa melihat langsung ayah. Tapi aku tetap tidak membuatku puas.

Makam kakek

Kegiatan yang tidak pernah terlewatkan kami ke Semarang adalah mengunjungi makam kakek dan nenek. Bukan hanya berkunjung dan membersihkan sedikit makam yang dipenuhi daun kering, kami juga mendoakan mereka. Berharap kakek dan nenek damai dan tidak sengsara di sana.

Berbeda dengan kakek yang tidak pernah tahu penyebab meninggalnya, nenek pergi jauh di saat aku berusia 18 tahun. Sehari sebelum usiaku 18 tahun tepatnya. Sudah setahun belakangan nenek sakit-sakitan. Dia harus rajin minum obat untuk mengurangi penderitaannya. 

Ini berbeda sekali dengan sebelumnya di mana dia selalu kuat ke mana saja bahkan pergi ke Jakarta. Memang belakangan nenek sudah jarang ke ibu kota. Mungkin karena usianya yang sudah sangat uzur. 

Tapi sebelum tahun 2005 nenek sering sekali main. Minimal setahun sekali pasti ke Jakarta. Di Jakarta nenek hanya punya dia keluarga, yaitu ayah dan kakak ayah. Kalau tidak menginap di rumah, nenek pasti ke tempat bude (sebutan untuk kakak orang tua di suku Jawa). 

Karena jarang ke mari, nenek sangat sayang dengan kami, terlebih aku. Di Jakarta aku adalah satu-satunya cucu lelaki dia. Aku senang sekali kalau nenek ke sini. Namanya perjumpaan pasti ada perpisahan. Begitu juga dengan nenek. Di usia yang lebih dari 80 tahun, pada tanggal 24 September 2009 nenek meninggal

Mendengar kabar nenek meninggal tak ada setetespun air mata aku keluarkan. Mama bilang jangan nangis. "Kalau nangis kita sama saja tidak rela nenek pergi," katanya menguatkan hatiku dan adik. Mama lalu menyuruhku mencium nenek dan mengucap salam perpisahan dengannya. 

Saat mencium sambil berbisik sebenarnya aku sudah tidak kuat. Mata mulai berlinang. Tapi aku harus ihlas. Sebagai cucu yang berbakti aku selalu mendoakan nenek di mana pun aku berada. Semoga nenek bahagia di alam sana. 

Allahummaghfirlahum warhamhum wa'afihii wa'fu'anhum. "Ya Allah, ampunilah mereka (kakek dan nenek), dan kasihanilah mereka dan sejahterakanlah serta ampunilah dosa kesalahan mereka"


Makam Nenek
Previous
Next Post »
0 Komentar