Manfaat Gambut untuk Umat

Sumber: WWF Indonesia

Kuliah hari ini terasa melelahkan. Belum lagi ditambah kondisi jalan yang tak pernah ada sepinya. Di rumah aku melihat Ayah sedang menonton televisi. Sepertinya Ayah sedang libur. Bekerja di sebuah media massa membuat Ayah memiliki hari libur yang beda dengan orang lain pada umumnya. Aku melihat Ayah sedang menonton berita. Tumben sekali.

Penasaran, aku mendekati layar kaca melihat berita apa yang sedang ditampilkan. Ternyata soal kebakaran hutan. Aku melihat Ayah geleng-geleng kepala. Kalau ekspresinya seperti ini, bisa dipastikan Ayah kesal. Apalagi kalau bukan isi berita yang ditayangkan. Aku membuka perbicaraan.

“Ada apa, Yah? Sepertinya ada yang tidak baik”

“Iya. Kebakaran lahan gambut masih saja terjadi. Padahal sudah dua tahun belakangan Presiden Joko WIdodo menegaskan untuk menghentikan pembakaran hutan terutama di lahan gambut. Apa mereka tidak tahu bahwa gambut itu sangat penting bagi kehidupan?”

Pernyataan Ayah ada benarnya. Kebakaran lahan gambut paling besar dan sampai disorot negara tetangga terjadi pada menjelang akhir tahun 2015. Pulau Sumatera dan Kalimantan yang menjadi salah satu paru-paru dunia karena kaya akan hutan tropis dan gambut, telah dikikis. Lahan gambut ini dialihkan menjadi tanaman sawit.

Aku melihat Ayah sedang menggebu-gebu. Kalau begitu aku panasi saja. “Bukannya membakar lahan gambut itu boleh ya, Yah. Sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 yaitu paling luas dua hektar.”

Ayah membetulkan posisi duduknya. Dia seperti gelisah mendengar pertanyaan aku. “Memang betul masyarakat adat sekitar dibolehkan membakar hutan untuk membuka lahan pertanian. Akan tetapi ini dimanfaatkan oknum yang jahat dengan menyuruh warga sekitar untuk membakar lahan, dimana itu juga lahan mereka. Nanti kalau terjadi masalah, oknum ini tinggal bilang itu ulah orang sekitar dan lahannya terbakar karena tidak begitu jauh dengan titik api.”

Belum aku memberi komentar Ayah sudah menyambar. “Sebenarnya perusahaan ini sudah memiliki ijin dari pemerintah setempat untuk membuka lahan dengan sarat yang ditentukan. Tapi karena ingin mendapatkan keuntungan maksimal, mereka malah membukanya dengan cara membakar. Metode membakar lahan memang dipercaya paling cepat, murah, dan efisien dibandingkan dengan menggunakan alat berat.”

Kali ini aku setuju dengan Ayah. Bahkan pada akhir tahun 2015 lalu ada keputusan yang sangat kontroversi oleh Pengadilan Negeri Palembang yang dipimpin oleh Parlas Nababan. Sang hakim menyatakan sebuah perusahaan pembakar hutan tidak bersalah. Dia bilang seperti ini, “Bakar hutan itu tidak merusak lingkungan hidup karena bisa ditanam lagi.”

Lucu memang argumentasinya. Ini menjadi angin segar bagi para pembakar lahan gambut. Meski beberapa saat kemudian hakim tersebut kena skors karena keputusannya tersebut. Mungkin juga disebabkan ulah warganet yang tidak terima dan geram dengan keputusannya.

Ayah mencoba menenangkan diri dengan menyeruput kopi yang ada di meja. “Kebakaran tahun 2015 lalu berdasarkan data pantaugambut.id, 52% lahan yang terbakar pada tahun itu adalah lahan gambut. Padahal gambut itu berperan penting dalam menyerap 75% karbon. Itu sebabnya gambut dilarang untuk dibakar.”

Memang akibat dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut, masyarakat yang tidak berdosa kena imbasnya. Penyakit datang menghampiri orang yang tinggal di kawasan terbakarnya gambut. Masih berdasarkan data pantaugambut.id, kerugian yang didapat Indonesia gara-gara kebakaran ini mencapai Rp 220 triliun. Angka yang sangat tidak sedikit.

Terlihat Ayah sudah mulai tenang. Kali ini gantian aku memberikan komentar. “Pemerintah tidak tinggal diam, Yah. Kebakaran hutan dari tahun ke tahun sudah berkurang. Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ada 2810 titik kebakaran. Tahun 2016 turun menjadi 1917 titik. Di tahun ini turun 10 kali lipat menjadi 157 kebaran,” aku sengaja keluarkan data agar tidak dibantah Ayah.

Ayah terlihat serius mendengar. Kesempatan untuk memberikan tambahan, “Luas hutan yang terbakar juga menunjukkan penurunan dari 2,61 juta hektar pada tahun 2015, di tahun 2016 menjadi 438 hektar. Tahun ini turun drastis menjadi 15983 hektar.”

Tidak hanya mau jadi pendengar, Ayah mulai angkat bicara. Kali ini ucapannya menunjukkan orang yang selayaknya menjadi panutan. “Memang pemerintah tidak diam. Upaya mengatasi kebakaran lahan gambut terus digalakkan. Tapi kita tidak boleh puas diri karena kebakaran masih ada. Yang penting jangan sampai keturunan kamu tidak bisa merasakan nikmatnya udara segar. Ingat, di Cina udara bersih sudah dijadikan barang komoditas!”

Sumber bacaan:
Pantaugambut.id
dibi.bnpb.go.id

Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

Well, tentang lahan gambut ini sebenarnya gw kurang paham. Apalagi saat kebakaran hebat melanda hutan-hutan di Indonesia 2015 lalu. Jadi, itu lahan yang memang cocok untuk dijadikan hutan industri atau justru terlarang?

Balas